Bupati Sesuka Hati Naikan Tarif, Banyak Pabrik Hengkang dari Jawa Barat
KLIKNUSAE.com – Ketidakpatuhan kepala daerah terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menjadi salah satu pemicu banyaknya pabrik hengkang dari Jawa Barat.
“Selain itu, kepala daerah (bupati) terkadang sesuka hatinya menaikan tarif. Padahal, seharusnya hanya gubernur saja yang bisa,” kata Hadi S Cokrodimedjo, Wakil Ketua Umum Kadin Jabar Koordinator Bidang Industri Teknologi Vokasi SDM dan Energi ketika dihubungi Kliknusae.com, Jumat 31 Mei 2024.
Ia diminta tanggapannya terkait banyaknya industri (pabrik) yang hengkang dari Provinsi Jawa Barat.
Terakhir, Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Kris Sasono Ngudi Wibowo mengemukakan, pindahnya pabrik tersebut disebabkan oleh faktor daya saing atau competitiveness di daerah.
Dikemukakan Kris, banyak pengusaha yang memindahkan pabriknya dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Pabrik tersebut didominasi oleh sektor alas kaki, tekstil, hingga pakaian jadi.
BACA JUGA: Ini Sikap Kadin Jawa Barat Terhadap Kebijakan Pajak Hiburan
Sebelumnya, pabrik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, Jawa Barat juga terpaksa gulung tikar.
Menurut Hadi, alasan lain—yang menyebabkan banyak investor mengalihkan investasnya ke daerah lain, karena setiap kali kampanye Bupati sering menjanjikan kenaikan UMK.
“Contoh daerah Kawarang dan Bekasi, nanti kalau saya jadi bupati UMK akan dinaikan 4-5 juta, dan memang betul. Akibatnya, berat buat kami, berat buat perusahaan karena ada kenaikan terus,” ujarnya.
Sementara saat ini iklim usaha masih turun, belum stabil. Alih-alih untuk bangkit lebih cepat, bertahan saja juga sudah sangat payah.
“Akhirnya, inilah yang menjadi alasan banyak pabrik yang pindah. Mereka lebih memilih ke Batam, Demak, Magelang karena di sana UMK-nya rendah, separuhnya,” jelas Hadi.
BACA JUGA: DPMPTSP Kota Semarang Inisiasi Sambung Mesra dengan Kadin Kota Bandung Lewat Business Forum
Skill Pekerja
Di Jawa Tengah, lanjut Hadi, saat ini UMK-nya masih 2,7 juta, separuhnya dari Karawang atau Bekasi.
“Jadi, bukan persoalan kompetensi saja. Tapi lebih kepada “kengawuran” kebijakan bupati yang seenaknya, menaikkan tarif (UMK),” tegas Hadi.
Selanjutnya diakui bahwa kompetensi atau skill pekerja di Jawa Barat agak rendah dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Kenapa? Jabar ini sekolahnya sangat banyak, sekolah SMK 3000, tetapi yang bermutu tinggi paling hanya 300. Begitu juga politeknik dan universitas, Jawa Tengah termasuk Yogyakarta agak lebih baik ya,” paparnya.
Sebetulnya masalah seperti ini, kata Hadi, bisa diatasi karena pada dasarnya anak-anak Jawa Barat itu pintar dan bisa dilatih.
BACA JUGA: Wawancara Eksklusif Bersama Ketua Kadin Jabar Cucu Sutara, Ada Ancaman Ini
“Lalu, kenapa mereka tertinggal. Ini lebih kepada source skill saja. Mungkin karena di Jabar, alamnya bagus, nyaman sehingga kerja kerasnya kurang,” ungkapnya.
Sedangkan di Jawa Tengah atau Jawa Timur medannya panas dan cukup berat, ini yang memicu mereka (pekerja) untuk bisa terus survive.
“Sehingga daya tahan mereka lebih tinggi. Bahkan tak sedikit para pekerja dari luar (Jawa Tengah dan Jawa Timur) masuk ke Jawa Barat,” tambah Hadi.
BACA JUGA: Pelaku Usaha Jawa Barat Jangan Terlindas di Negeri Sendiri
Sementara itu, Ketua Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Disnakertrans Jawa Barat Firman Desa mengakui, sebanyak 233 karyawan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia mengungkapkan, bahwa industri padat karya di Jawa Barat sudah terpukul sejak tahun 2023.
Kondisi ini yang membuat sejumlah pabrik terpaksa tutup atau memindahkan usahanya.
"Kalau pabrik-pabrik di sektor yang sama atau padat karya memang dari 2023 sudah banyak yang tutup atau relokasi usaha,” katanya, seperti di dari Evening Up CNBC Indonesia, Rabu, 8 Mei 2024 lalu. ***