Dedi Mulyadi dan Ikhtiar Meredam Ego di Kadin Jawa Barat

Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief 

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tampaknya memilih posisi sebagai penengah dalam kisruh dualisme kepemimpinan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat.

Ia mengingatkan bahwa Kadin bukanlah arena untuk mencari keuntungan pribadi dari investor maupun pemerintah, melainkan wadah yang seharusnya mewakili kepentingan dunia usaha.

Kadin, kata Dedi, idealnya hadir untuk membuka akses informasi bisnis, menjembatani peluang investasi, memberi solusi menghadapi tantangan ekonomi, serta memperkuat kapasitas para pengusaha.

Pernyataan itu jelas mencerminkan cara pandang seorang pemimpin daerah yang ingin agar organisasi “para pedagang” ini kembali ke khitahnya.

Dalam pandangan Dedi, Kadin adalah institusi strategis yang semestinya berdiri di atas kepentingan bersama, bukan kepentingan segelintir orang.

Namun, kehadiran dirinya pada Musyawarah Provinsi (Musprov) ke-VIII Kadin Jabar kubu Almer di Bogor, Rabu 24 September 2025, memunculkan tanda tanya.

Sebab, pada waktu yang bersamaan, Musprov versi lain tengah digelar di Karawang yang kemudian memutuskan Nizar Sungkar sebagai ketua umum.

Bagi sebagian pihak, hadirnya seorang gubernur di satu forum otomatis bisa dimaknai sebagai legitimasi atau dukungan politik terhadap salah satu kubu.

Di titik inilah dilema itu muncul. Dedi mungkin datang dengan niat untuk menenangkan suasana dan mendorong rekonsiliasi.

Tetapi, dalam politik organisasi, simbol kehadiran seorang kepala daerah tidak pernah bisa dipandang netral.

Menjaga Jarak

Apalagi di tengah konflik internal yang sensitif, setiap gestur pejabat publik selalu ditafsirkan dalam bingkai keberpihakan.

Apakah kehadiran Dedi sekadar “kecelakaan waktu”, atau memang bentuk kedekatan personal dengan Almer, masih menjadi spekulasi.

Yang jelas, sebagai gubernur, ia dituntut menjaga jarak agar tidak terjebak dalam pusaran konflik internal lembaga yang mestinya bersifat mandiri.

Di satu sisi, pesan moral yang dibawa Dedi relevan: jangan biarkan ego mengalahkan kepentingan kolektif dunia usaha.

Tetapi di sisi lain, langkah politiknya justru bisa menimbulkan tafsir ganda. Publik mungkin akan bertanya, mengapa seorang gubernur yang ingin mendorong rekonsiliasi justru tampil di satu kubu dan tidak di kubu lain.

Kadin, bagi Dedi, seharusnya bukan ruang pertarungan gengsi, melainkan wadah mempertemukan gagasan, kepentingan, dan strategi demi kesejahteraan ekonomi Jawa Barat.

Namun, jika Dedi sungguh ingin menjadi jembatan, kehadirannya mestinya dilakukan di atas semua kubu, bukan hanya satu forum.

Dengan begitu, suara Dedi tidak sekadar terdengar sebagai imbauan normatif, melainkan nyata menghadirkan posisi kepemimpinan yang adil, berjarak, dan menjangkau seluruh pihak.

Karena pada akhirnya, rekonsiliasi tidak cukup hanya dengan kata-kata, tetapi juga sikap yang konsisten menjaga netralitas. ***

 

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae