Tahun (2025) Babak Kelam Pariwisata Jawa Barat
Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief
Bagi pelaku usaha pariwisata di Jawa Barat, tahun 2025 bukan sekadar tahun berat. Ia adalah babak kelam yang meninggalkan jejak getir.
Sekaligus, tanda tanya besar tentang keberpihakan kebijakan terhadap sektor yang selama ini menjadi penggerak ekonomi daerah.
Petaka itu bermula dari terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 tentang efisiensi anggaran.
Kebijakan yang di atas kertas dimaksudkan untuk menata belanja negara itu, dalam praktiknya, perlahan tapi pasti memukul jantung industri pariwisata.
Okupansi hotel merosot tajam. Kamar-kamar yang sebelumnya ramai kini banyak menganga kosong. Dampaknya menjalar ke mana-mana.
Selama ini, denyut tempat rekreasi tak bisa dilepaskan dari aktivitas perhotelan. Ketika tamu hotel menghilang, pengunjung objek wisata pun ikut menyusut.
Aktivitas jalan-jalan yang lazim menyertai perjalanan dinas, rapat, atau acara perusahaan, mendadak terhenti. Pariwisata yang saling terkait itu runtuh seperti domino.
Pukulan paling telak dirasakan hotel bintang tiga hingga lima yang menggantungkan hidup pada segmen MICE (meeting, incentive, convention, exhibition).
Potensi pendapatan dari sektor ini anjlok hingga 60 persen. Tak sedikit pengelola hotel yang terpaksa mengambil langkah pahit: mengurangi tenaga kerja demi menjaga usaha tetap bernapas.
Di balik laporan keuangan yang "berdarah", ada cerita keluarga-keluarga yang kehilangan sumber nafkah.
Alih-alih mendapat angin penyangga, badai susulan justru datang dari kebijakan daerah.
Terbitnya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat yang melarang kegiatan study tour menjadi pukulan lanjutan yang melengkapi nestapa.
Terutama bagi objek wisata yang selama ini memang bertumpu pada kunjungan rombongan pelajar.
Larangan itu membuat roda usaha berhenti mendadak.
BACA JUGA: Menanti Sentuhan Fiskal Menteri Keuangan Purbaya Bagi Industri Pariwisata
Akses udara
Pelaku usaha sejatinya tidak alergi terhadap aturan. Mereka memahami pentingnya keselamatan, tata kelola, dan pembenahan.
Namun aturan yang lahir tanpa transisi dan solusi justru berpotensi membunuh sektor yang baru saja bangkit dari porak-poranda pandemi Covid-19.
Pertanyaannya sederhana: apakah penderitaan ini sudah selesai? Jawabannya belum.
Masalah lain menyempurnakan daftar luka. Dua bandara utama—Kertajati dan Husein Sastranegara—yang seharusnya menjadi pintu masuk wisatawan, justru belum berfungsi optimal.
Ketika daerah lain berlomba memberi subsidi tiket pesawat untuk menarik arus wisata, Jawa Barat hanya bisa gigit jari.
Akses udara yang tersendat membuat daya saing pariwisata kian melemah.
Lambat laun, pelaku usaha mulai berpikir ulang. Apakah masih masuk akal bertahan?
Ataukah lebih bijak menutup usaha dan mencari daerah lain yang lebih ramah terhadap investasi?
Menutup hotel atau objek wisata mungkin keputusan mudah bagi pengusaha. Namun implikasinya jauh lebih besar: hilangnya potensi pajak daerah dan melonjaknya angka pengangguran.
Pariwisata bukan sekadar urusan pelaku usaha. Ia adalah ekosistem yang menyentuh banyak hajat hidup.
Mulai dari pekerja hotel, pemandu wisata, sopir, pedagang kecil, hingga petani dan pengrajin lokal.
Ketika sektor ini runtuh, efeknya menjalar ke lapisan paling bawah.
Tanpa good will dan keberpihakan nyata dari pimpinan daerah, nada suram itu berpotensi berlanjut.
Tahun 2026 bisa jadi bukan awal pemulihan, melainkan perpanjangan dari krisis yang dibiarkan.
Dan ketika itu terjadi, Jawa Barat mungkin harus membayar harga yang jauh lebih mahal daripada sekadar angka-angka di laporan pariwisata. ***
