PHRI Jabar: Libur Natal 2025 Belum Dongkrak Okupansi Hotel, Rata-rata Masih 60 Persen

KLIKNUSAE.com — Ketua PHRI Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menyebut libur Natal 2025 belum memberikan kontribusi signifikan terhadap okupansi hotel di wilayah Jawa Barat.

Hingga akhir Desember, rata-rata tingkat hunian hotel tercatat masih berada di kisaran 60 persen.

Menurut Dodi, rendahnya tingkat hunian tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satunya melemahnya daya beli masyarakat.

Kondisi ekonomi membuat wisatawan semakin selektif dalam membelanjakan uangnya untuk perjalanan wisata.

“Sekarang banyak yang sudah makan tabungan (mantab). Jadi untuk pengeluaran wisata benar-benar selektif. Belum lagi, saat ini juga sudah mendekati puasa dan Idul Fitri,” ujar Dodi kepada Kliknusae.com, Kamis 25 Desember 2025.

Selain faktor ekonomi, Dodi menilai maraknya akomodasi ilegal turut menjadi penyebab tidak bergeraknya tingkat hunian hotel.

Banyak rumah tinggal dan vila yang ditawarkan sebagai tempat menginap tanpa memenuhi standar pelayanan dan perizinan sebagaimana hotel resmi.

“Dari sisi standar pelayanan, mereka jauh dari kata hospitality. Belum lagi izin-izin yang tidak dimiliki seperti hotel resmi,” katanya.

Dodi mengungkapkan, pihaknya telah berulang kali menyampaikan persoalan tersebut kepada pemerintah.

Namun hingga kini, belum ada langkah konkret untuk melakukan penertiban.

“Kami sudah berkali-kali menyampaikan kondisi ini, tetapi tidak ada respons dari pemerintah. Padahal jelas-jelas itu bukan kategori akomodasi," ungkapnya.

Akomodasi non hotel namun pada pratiknya berjualan seperti hotel, jelas banyak merugikan berbagai pihak. Termasuk pemerintah itu sendiri.

Platform online

BACA JUGA: Pastikan Perayaan Natal 2025 Aman, KDM Sebut Toleransi Jadi Prioritas

"Bagaimana dengan pajaknya, lalu jaminan keamanannya seperti apa. Jangan sampai kalau sudah terjadi sesuatu baru bergerak,” tegas Dodi.

Ia juga meminta pemerintah daerah untuk turut memonitor platform online travel agent (OTA) yang masih menjual akomodasi non-hotel secara bebas.

Terkait klaim pemerintah daerah mengenai arus perjalanan ke Jawa Barat yang mencapai jutaan orang selama libur Natal, Dodi menilai data tersebut tidak linier dengan kondisi okupansi hotel.

“Memang betul terjadi jutaan orang keluar masuk Jawa Barat. Tapi kenyataannya tidak semuanya menginap di hotel. Bisa jadi mereka pulang kampung,” ujarnya.

Kondisi serupa juga terjadi di daerah lain. Ketua PHRI Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay, menyampaikan bahwa selama libur Natal 2025, rata-rata okupansi hotel di Kota Bogor hanya mencapai 59 persen.

Ada Ketidakadilan

Setali tiga uang seperti disampaikan Dodi bahwa pengelola hotel di Kota Bogor juga merasakanya adanya ketidakadilan dalam penerapan regulasi sektor akomodasi.

Ia menilai hotel dan restoran formal justru berada dalam posisi yang dirugikan di tengah maraknya praktik penyewaan akomodasi ilegal.

Yuno menjelaskan, pelaku usaha hotel dan restoran resmi diwajibkan memenuhi berbagai ketentuan berlapis.

Mulai dari pengurusan izin usaha, sertifikasi, pemenuhan standar layanan, hingga kewajiban membayar pajak.

Namun, pada saat yang sama, rumah tinggal, apartemen, dan vila yang berizin residensial justru bebas disewakan secara harian melalui aplikasi digital.

“Kami tidak minta dimanjakan, kami hanya minta keadilan. Kami patuh aturan, tapi yang melanggar justru tumbuh subur,” tegas Yuno.

Menurutnya, kondisi tersebut menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan melemahkan pelaku usaha yang taat regulasi.

Ia pun menolak anggapan bahwa persoalan akomodasi ilegal sulit ditangani.

Yuno menilai perkembangan teknologi seharusnya menjadi alat bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif.

Praktik penyewaan akomodasi ilegal, kata dia, sangat mudah dilacak melalui platform digital.

“Tinggal unduh aplikasinya, titik propertinya kelihatan. Bahkan bisa dicek lewat mystery guest,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor mendorong pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait untuk bersikap tegas dan konsisten.

Khususnya dalam menegakkan aturan, demi menciptakan iklim usaha pariwisata yang adil, tertib, dan berkelanjutan. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae