Wawancara Eksklusif Kristian Pengamat Kebijakan Publik: Dualisme Kadin Jabar Berbahaya Bagi Iklim Investasi

KLIKNUSAE.com - Konflik dualisme kepemimpinan yang melanda Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat dipandang bukan sekadar persoalan internal organisasi.

Friksi ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap iklim usaha dan investasi di Jawa Barat.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Kristian Widya Wicaksono, menilai dualisme yang terus berlarut-larut justru menggerus kepercayaan pelaku usaha maupun investor.

“Dalam dunia bisnis, kepastian adalah segalanya. Ketika Kadin sebagai representasi dunia usaha justru sibuk dengan konflik internal, maka investor akan ragu. Akibatnya bisa berupa penundaan investasi, batalnya proyek, hingga terhambatnya realisasi kerja sama lintas sektor,” ujar Kristian  saat ditemui di Bandung, Minggu 28 September 2025.

Berikut petikan  wawancara eksklusif  wartawan Kliknusae.com Adhi  M Sasono bersama Kristian Widya Wicaksono:

Bagaimana Anda melihat fenomena dualisme kepemimpinan di Kadin Jawa Barat ini dari perspektif tata kelola organisasi publik dan bisnis?

Saya memandang bahwa dualisme kepemimpinan di Kadin Jawa Barat merupakan bentuk tidak optimalnya tata kelola yang outputnya adalah penurunan legitimasi kepemimpinan.

Dan outcome-nya adalah melemahnya efektivitas organisasi.

Hal ini membingungkan bagi anggota organisasi, melemahkan posisi advokasi terhadap pemerintah.

Bahkan, bisa menunda keputusan operasional dan teknis serta membuka risiko sengketa secara hukum pada kontrak.

Pada umumnya akar permasalahan terletak pada mis-interpretasi terhadap AD/ART atau isi AD/ART yang ambigu sehingga menimbulkan multi-interpretasi.

Kemudian kurang optimalnya mekanisme penyelesaian sengketa, dan terjadinya intervensi secara politis oleh kelompok kepentingan tertentu yang bertujuan untuk menguasai organisasi secara sepihak

Apakah kondisi ini dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan kepemimpinan Kadin Indonesia di bawah Anindya Bakrie, karena tidak mampu menyelesaikan konflik internal di daerah?

Hipotesa saya ini merupakan kelemahan parsial dalam hal pengelolaan dinamika konflik di dalam organisasi, tetapi bukan kegagalan total kepemimpinan.

Fakta menunjukkan bahwa Kadin Pusat di bawah Anindya Bakrie telah mengambil langkah yaitu menunjuk caretaker untuk Jabar dan mendorong Musprov guna mengakhiri dualisme.

Selain itu juga  melakukan pertemuan koordinasi dengan Gubernur Jawa Barat, yang menandakan upaya penyelesaian dari level pusat.

Menuntut Intervensi

Namun kenyataannya banyak pengurus kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lokal di Jawa Barat yang tetap mengeluarkan maklumat.

Mereka  menuntut intervensi karena merasa aturan AD/ART dilanggar, sehingga perselisihan terus berlanjut di tingkat daerah dan menimbulkan impresi bahwa keputusan pusat belum efektif meredam konflik.

Dengan kata lain, masalah ini lebih mencerminkan keterbatasan kapasitas institusional dan legitimasi di tingkat daerah serta lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa internal.

Dimana ini  menuntut tindakan terintegrasi yang mencakup: legitimasi hukum, keterlibatan lokal, dan mekanisme mediasi/arbitrase yang kuat, daripada sekadar kesalahan personal semata.

Pada level nasional dualisme pernah dinyatakan berakhir melalui Munas, sehingga klaim kegagalan menyelesaikan semua konflik daerah perlu dilihat dalam konteks kompleksitas hubungan pusat-daerah.

Menurut Anda, apa dampak paling signifikan dari berlarut-larutnya dualisme kepengurusan Kadin Jawa Barat terhadap iklim usaha dan dunia industri di provinsi ini?

Dampak paling signifikan dari berlarut-larutnya dualisme kepengurusan Kadin Jawa Barat adalah kehilangan kepercayaan dan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan investor, yang merambah pada penundaan investasi.

Gagalnya realisasi proyek, dan melemahnya kemampuan Kadin sebagai fasilitator kolaborasi lintas sektor publik-privat.

Efek domino ini menahan akses usaha (terutama UMKM) ke jaringan pasar dan pembiayaan, menghambat lobi kebijakan pro-bisnis kepada pemerintah daerah.

Bahkan lebih jauh dari itu, menimbulkan biaya transaksi tinggi karena pihak-pihak harus memastikan siapa lawan nego yang sah.

Pada akhirnya hal ini akan menurunkan daya saing provinsi, mengganggu rantai pasok lokal, dan membuat peluang ekonomi jangka pendek dan jangka menengah hilang.

Jika konflik internal ini terus dibiarkan, bagaimana pengaruhnya terhadap kepercayaan publik, investor, maupun pemerintah daerah terhadap Kadin?

Jika konflik internal dibiarkan berlarut, kepercayaan publik, investor, dan pemerintah daerah terhadap Kadin akan terkikis secara simultan.

Publik dan anggota Kadin akan melihat Kadin kehilangan legitimasi dan kemudian menjaga jarak dengan Kadin.

Investor akan menilai risiko politik dan hukum lebih tinggi sehingga menunda atau membatalkan investasi dan kerja sama.

Terutama investasi yang memerlukan kepastian mitra lokal.

Potensi Sengketa Hukum

Sedangkan pemerintah daerah akan ragu menjadikan Kadin sebagai mitra resmi dalam inisiatif kolaborasi lintas sektor publik-privat atau konsultasi kebijakan.

Hal ini karena tidak jelas siapa yang memiliki kewenangan di dalam Kadin.

Hasil akhirnya adalah menurunnya kapasitas Kadin untuk melakukan advokasi, memfasilitasi investasi, dan mendukung UMKM, serta meningkatnya biaya transaksi dan potensi sengketa hukum yang merugikan semua pihak.

Apa langkah konkret yang seharusnya segera dilakukan oleh Kadin Indonesia untuk mengakhiri polemik ini?

Untuk mencegah jatuhnya kepercayaan ini maka langkah mitigasi cepat diperlukan diantaranya: melakukan klarifikasi legal, menunjuk caretaker yang netral, melakukan komunikasi terbuka dengan stakeholder, dan penyelesaian sengketa melalui mekanisme independen agar kredibilitas dan fungsi Kadin dapat dipulihkan kembali.

Dari sudut pandang kebijakan publik, apakah pemerintah daerah atau pusat sebaiknya ikut campur tangan dalam penyelesaian masalah ini, atau cukup menyerahkan pada mekanisme internal Kadin?

Dari sudut pandang kebijakan publik, idealnya mekanisme internal Kadin tetap menjadi jalur utama penyelesaian untuk menjaga otonomi asosiasi kegiatan bisnis.

Namun demikian, pemerintah—baik daerah maupun pusat—harus siap berperan sebagai fasilitator netral dan penjaga kepentingan publik.

Pemerintah dapat turun tangan dengan mediasi dan fasilitasi komunikasi yang imparsial dan nonpartisan ketika konflik mengganggu layanan publik atau iklim investasi.

Wewenang Administratif

Pemerintah dapat menggunakan wewenang administratif untuk mendesak kejelasan kepengurusan jika dualisme menghambat proyek atau mengakibatkan kerugian publik.

Sebagai upaya terakhir, pemerintah dapat mendukung penyelesaian hukum atau pengadilan administratif ketika sengketa berlarut dan merusak kepentingan ekonomi secara umum.

Prinsipnya, intervensi bersifat proporsional, transparan, trmporer, dan diarahkan untuk memulihkan kepastian hukum serta kontinuitas layanan, sekaligus mendorong penggunaan mediasi independen.

Seberapa besar potensi kerugian, baik secara ekonomi maupun reputasi, jika dualisme ini tidak segera diselesaikan?

Jika dualisme kepengurusan Kadin Jabar dibiarkan, potensi kerugiannya nyata dan besar: secara ekonomi terjadi penundaan atau hilangnya investasi dan proyek publik-swasta.

Meningkatnya biaya transaksi untuk verifikasi mitra, gangguan rantai pasok dan akses pembiayaan bagi UMKM—yang dalam skenario konservatif setara dengan sekitar 0,1–0,5% PDRB tahunan, dan dalam skenario berat bisa mencapai 1–2% PDRB tahunan.

Sedangkan pada sisi reputasi, Kadin kehilangan legitimasi sebagai wakil dunia usaha sehingga kepercayaan investor, pemerintah, dan mitra internasional menurun.

Pun peluang investasi bergeser ke provinsi yang lain, dan pemulihan citra serta relasi strategis dapat membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Oleh karenanya, biaya kumulatifnya jauh lebih besar daripada biaya penyelesaian cepat (klarifikasi legal, caretaker netral, mediasi independen, komunikasi transparan). ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae