Pengamat Unpar Kristian Ingatkan Risiko "Domino Effect" Pembongkaran Teras Cihampelas

KLIKNUSAE.com - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Kristian Widya Wicaksono mengingatkan adanya risiko domino effect yang cukup besar dari kebijakan pembongkaran atau pembatalan proyek publik seperti Teras Cihampelas.

Apalagi kebijakan tersebut di dasarkan pada pertimbangan politik, bukan evaluasi kinerja.

Lalu bagaimana pertanggungjawab terhadap anggaran negara puluhan miliar yang sudah dikucurkan dalam proyek pembangunan Teras Cihampelas di Kota Bandung, Jawa Barat tersebut?

Ikuti wawancara ekslusif wartawan Kliknusae.com Adhi bersama Kristian Widya Wicaksono, Jumat 19 Desember 2025  berikut ini:

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut Teras Cihampelas mengganggu pandangan dan estetika kota. Dalam perspektif kebijakan publik, seberapa valid alasan estetika dijadikan dasar pembongkaran infrastruktur publik yang dibangun dengan anggaran besar?

Dalam perspektif kebijakan publik, estetika dapat menjadi bagian dari pertimbangan kebijakan, khususnya dalam konteks penataan kota.

Namun, menjadikan alasan estetika sebagai dasar utama dan satu-satunya alasan pembongkaran infrastruktur publik, yang nilai investasinya cukup menyedot banyak anggaran adalah problematis.

Estetika bersifat subjektif dan sulit diukur secara objektif, sehingga tidak memenuhi prinsip rasionalitas kebijakan jika tidak disertai indikator kegagalan fungsi. Termasuk, keselamatan, atau ketidaksesuaian tata ruang, serta indikator-indikator lainnya yang relevan.

Kebijakan pembongkaran semestinya didasarkan pada analisis beban-manfaat dan kepentingan publik yang terukur. Bukan sekadar preferensi visual pengambil keputusan.

Teras Cihampelas dibangun dengan dana publik yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah. Bagaimana seharusnya negara mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran tersebut jika bangunan akhirnya dibongkar sebelum umur manfaatnya berakhir?

Ketika infrastruktur yang dibangun dengan dana publik dibongkar sebelum umur manfaatnya berakhir, negara memiliki kewajiban akuntabilitas yang serius.

Pertanggungjawaban tidak berhenti pada kepatuhan prosedural saat pembangunan. Tetapi juga mencakup penjelasan rasional atas penghentian manfaat fasilitas tersebut.

Pemerintah seharusnya menjelaskan kepada publik nilai kerugian ekonomi, potensi manfaat yang hilang.

Termasuk, serta justifikasi kebijakan yang menjelaskan mengapa pembongkaran dianggap lebih bernilai manfaat daripada mempertahankan atau memperbaiki bangunan tersebut.

Apakah terdapat mekanisme audit kebijakan atau evaluasi cost-benefit yang semestinya dilakukan sebelum keputusan pembongkaran diambil?

Secara normatif, keputusan pembongkaran semestinya didahului oleh evaluasi kebijakan yang komprehensif.

Evaluasi ini mencakup audit kinerja atas pemanfaatan fasilitas, analisis beban-manfaat terhadap opsi pembongkaran, serta perbandingan dengan alternatif kebijakan lain. Contohnya,  redesain dan revitalisasi fungsi fasilitas.

Tanpa proses ini, keputusan pembongkaran berisiko menjadi tindakan diskresioner yang lemah dasar teknokratiknya. Dan sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun administratif.

Dari sisi tata kelola pemerintahan, apakah pembongkaran proyek lama tanpa proses evaluasi menyeluruh berpotensi mencederai prinsip keberlanjutan kebijakan (policy continuity)?

Pembongkaran proyek lama tanpa evaluasi komprehensif berpotensi mencederai prinsip keberlanjutan kebijakan.

Kebijakan publik idealnya bersifat institusional dan berjangka panjang, tidak bergantung pada pergantian aktor politik pada ranah kepemimpinan kepala daerah.

Jika setiap rezim baru merasa berhak membongkar kebijakan sebelumnya tanpa dasar evaluatif yang kuat, maka kesinambungan kebijakan akan runtuh dan perencanaan pembangunan kehilangan maknanya.

Banyak pihak menilai rencana ini bisa menjadi preseden bagi bangunan lain di Jawa Barat yang dibangun pada era Gubernur Ridwan Kamil. Seberapa besar risiko domino effect dari kebijakan semacam ini?

Risiko domino effect cukup besar, karena kebijakan ini dapat menciptakan preseden bahwa proyek publik tidak dinilai berdasarkan kinerjanya, melainkan berdasarkan siapa yang menggagasnya.

Akibatnya, proyek lain yang dibangun pada era sebelumnya berpotensi mengalami delegitimasi politik.

Hal ini berbahaya bagi stabilitas kebijakan publik karena mendorong politisasi aset negara sebagai ajang untuk menunjukkan superioritas antara satu aktor politik dengan aktor politik lainnya.

Apakah seorang kepala daerah baru secara etis dan administratif dibenarkan membongkar warisan kebijakan pendahulunya hanya karena perbedaan visi, tanpa indikator kegagalan yang terukur?

Secara etis dan administratif, kepala daerah baru tidak dibenarkan membongkar warisan kebijakan pendahulu hanya karena perbedaan visi. Perbedaan visi adalah fenomena politik yang wajar, tetapi kebijakan publik harus dievaluasi berdasarkan indikator kinerja yang objektif. Tanpa bukti kegagalan yang terukur, pembongkaran justru mencerminkan personalisasi kekuasaan, bukan kepemimpinan administratif yang bertanggung jawab.

Dalam konteks ini, apakah publik patut mencurigai adanya muatan politik atau bahkan dendam politik di balik wacana pembongkaran Teras Cihampelas?

Dalam konteks ini, kecurigaan publik terhadap muatan politik merupakan respons yang rasional.

Ketika alasan kebijakan lemah, evaluasi tidak dibuka ke publik, dan narasi yang digunakan bersifat simbolik maka sebagai konsekuensinya ruang interpretasi politik menjadi terbuka dan semakin spekulatif.

Meski demikian, secara akademik, dugaan motif politik perlu diuji melalui konsistensi pola kebijakan, bukan hanya melalui asumsi atau sentimen publik saja.

Bagaimana cara membedakan keputusan berbasis kepentingan publik dengan keputusan yang sarat simbol politik kekuasaan?

Keputusan berbasis kepentingan publik ditandai oleh proses yang transparan, berbasis data, dan melibatkan pemangku kepentingan yang beragam.

Sebaliknya, keputusan yang sarat simbol politik cenderung menekankan gestur kekuasaan, perubahan drastis, dan narasi personal tanpa landasan analisis kebijakan yang kuat.

Perbedaannya terletak bukan pada hasil kebijakan semata, tetapi pada proses pengambilan keputusan.

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyatakan siap mengikuti kebijakan gubernur. Apakah sikap ini mencerminkan koordinasi pemerintahan yang sehat, atau justru minim keberanian untuk menyuarakan kepentingan warga kota?

Pernyataan kesiapan mengikuti kebijakan gubernur dapat dibaca sebagai bentuk koordinasi pemerintahan.

Namun, dalam tata kelola yang sehat, koordinasi seharusnya tidak meniadakan peran advokatif kepala daerah terhadap kepentingan warganya.

Jika sikap tersebut tidak disertai upaya kritis untuk memastikan kepentingan warga Bandung terlindungi, maka hal itu berpotensi mencerminkan lemahnya pemahaman formulasi kebijakan di tingkat kota.

Jika alasan utamanya adalah estetika dan fungsi, apakah opsi revitalisasi atau redesain seharusnya lebih diutamakan dibanding pembongkaran total?

Ya, jika persoalan utama adalah estetika dan fungsi, maka revitalisasi atau redesain seharusnya menjadi opsi kebijakan yang lebih rasional.

Pembongkaran total merupakan langkah ekstrem yang hanya layak diambil apabila seluruh opsi perbaikan dinilai tidak layak secara teknis dan ekonomis.

Pendekatan adaptif terhadap fasilitas publik lebih terarah pada prinsip efisiensi, kemanfaatan, dan keberlanjutan dalam jangka panjang.

Apa pesan yang ditangkap publik ketika proyek bernilai besar dapat dengan mudah dibongkar oleh rezim berikutnya? Apakah ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perencanaan pembangunan jangka panjang?

Betul, pesan yang ditangkap publik akhirny seperti rapuhnya komitmen negara terhadap perencanaan jangka panjang.

Ketika proyek bernilai besar dapat dengan mudah dihapus oleh rezim berikutnya, kepercayaan masyarakat terhadap proses perencanaan dan penggunaan anggaran publik berpotensi menurun secara signifikan.

Dalam jangka panjang, apa dampak kebijakan semacam ini terhadap iklim perencanaan kota, investor, serta kepercayaan publik terhadap konsistensi kebijakan pemerintah daerah?

Saya melihat dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini menciptakan ketidakpastian kebijakan yang merugikan.

Perencana kota akan kesulitan merancang kebijakan jangka panjang, investor menghadapi risiko kebijakan yang tinggi. Dan publik bisa kehilangan keyakinan terhadap konsistensi pemerintah daerah.

Semua ini berkontribusi pada menurunnya kualitas tata kelola pembangunan.

Terakhir, pelajaran apa yang seharusnya dipetik pemerintah daerah agar pembangunan ke depan tidak kembali berujung pada pemborosan anggaran dan konflik kebijakan?

Pelajaran utama yang dapat dipetik adalah pentingnya memperkuat evaluasi kebijakan berbasis bukti, menjaga kesinambungan lintas rezim, dan memisahkan agenda politik dari pengelolaan fasilitas publik.

Pembangunan ke depan harus diposisikan sebagai investasi jangka panjang milik publik, bukan sebagai simbol kekuasaan temporer. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae