Korwil I PHRI Jabar: Penting Kejelasan Royalti Musik dan Persiapan Pengelolaan Sampah Mandiri
KLIKNUSAE.com - Persoalan pungutan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kembali mencuat dalam Rapat Koordinator Wilayah (Korwil) I Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat yang berlangsung di Hotel Accram, Cipayung, Cisarua, Bogor, Kamis 31 Juli 2025.
Rapat yang dihadiri perwakilan BPC dari Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur itu menyoroti ketiadaan kejelasan regulasi yang mengatur pungutan royalti. Terutama dalam praktiknya di lapangan.
Para pelaku industri perhotelan dan restoran menilai sistem pungutan tersebut cenderung memberatkan dan tidak berpihak pada kondisi riil usaha di daerah.
“Jika tidak ada kejelasan regulasi dan kebijakan yang adil, kami lebih memilih tidak memutar musik di hotel maupun restoran,” ujar salah satu peserta rapat.
Dalam forum itu, mengemuka pula dorongan kepada pemerintah daerah untuk membuat peraturan. Yakni, soal aturan pemutaran musik daerah sebagai bagian dari pelestarian budaya lokal.
Peserta rapat merujuk pada praktik serupa yang telah diterapkan di Bali dan beberapa daerah lainnya.
Selain isu royalti, rapat juga membahas kesiapan industri hotel dan restoran menghadapi kebijakan pengelolaan sampah mandiri.
Mulai tahun 2030, sektor hospitality—termasuk hotel, restoran, dan kafe (horeka)—tidak lagi diperkenankan membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pengelola hotel dan restoran, nantinya harus bisa mengelola sampah secara mandiri dengan prinsip nol sampah.
Menginap di hotel resmi
Saat ini untuk hotel dan restoran masih menggunakan jasa vendor dalam hal pengelolaan sampah.
Peserta rapat mendesak BPD PHRI Jawa Barat untuk segera menyiapkan panduan dan edukasi teknis kepada anggota.
Sekaligus menyuarakan masukan kepada pemerintah agar aturan ini dapat diterapkan secara bertahap dan terstruktur.
Isu lainnya yang mengemuka adalah desakan kepada pemerintah daerah agar berani mengeluarkan regulasi yang mewajibkan wisatawan untuk menginap di hotel resmi.
“Apartemen dan kost-kostan bukanlah akomodasi wisata karena termasuk kategori akomodasi jangka panjang sesuai KBLI. Bila tidak diatur, potensi pendapatan asli daerah (PAD) bisa terus bocor,” kata Ketua Korwil I PHRI Jabar, dr. Yuno Abeta Lahay.
Yuno yang juga menjabat Ketua BPC Kota Bogor, mengapresiasi rapat koordinasi ini.
“Ini langkah konkret dalam menyatukan persepsi untuk membangun industri pariwisata yang sehat dan berkelanjutan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua BPD PHRI Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti seluruh masukan rapat.
“Kami akan menjadikan hasil diskusi ini sebagai bahan resmi untuk disampaikan kepada pemangku kebijakan,” ujarnya.
Dodi juga telah mendengarkan "jeritan" hampir di seluruh BPC PHRI yang menyatakan kondisi okupansi hotel masih belum membaik.
"Rata-rata masih di kisaran 40 persen. Tentu ini menjadi perhatian kita bersama. Termasuk kepedulian pemerintah untuk juga bisa membantu meningkatkan kunjungan tamu hotel," kata Dodi.
"Sebab selama ini, kontribusi hotel dan restoran untuk PAD juga sangat besar. Sebut saja Kota Bandung PAD sektor pariwisata (hotel dan restoran) mencapai Rp. 900 miliar," ungkap Dodi.
Rapat turut dihadiri oleh Sekretaris PHRI Jabar Herie Hermanie Soewarma, Wakil Ketua Bidang Keorganisasian, Keanggotaan, Diklat dan Pengembangan SDM R. Handojo Widodo, Wakil Sekretaris Iwan Ridwan Suryadimadja, Humas Adhi S, serta Staf Analisasi Iman Juliaman.