Pemulihan Sektor Pariwisata dan Penerapan Pajak OTA Yang Bikin Hotel Dirugikan
KLIKNUSAE.com - Pemulihan sektor pariwisata di Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda kian membaik. Bahkan, beberaoa daerah sudah mengalami kebangkitan lebih cepat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 1,14 juta turis mancanegara mengunjungi Indonesia pada Desember 2023, dan wisatawan lokal mencapai 60,3 juta.
Namun, di balik geliat positif ini, sejumlah persoalan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Salah satu isu yang mencuat adalah penerapan pajak bagi agen perjalanan online (Online Travel Agent atau OTA) asing yang belum diterapkan dengan optimal.
BACA JUGA: Standarisasi Pelayanan Destinasi di Kota Bandung Sudah Baik, Tinggal Kampanye Pengunjung
Sementara itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengungkapkan bahwa pajak dari OTA asing seharusnya dapat disetorkan ke kas negara.
"Pungutan pajak dari OTA asing seharusnya dapat disetorkan ke kas negara," ujar Nailul, Minggu, 21 Juli 2024.
Pertumbuhan bisnis OTA di Indonesia tidak diiringi dengan perbaikan tata kelola perpajakan. Banyak OTA asing diduga tidak tertib pajak.
Nailul menegaskan bahwa pemerintah harus memaksimalkan pengenaan pajak kepada OTA asing dengan memastikan mereka memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
BACA JUGA: PHRI Sambut Baik Rasionalisasi Hotel Milik BUMN, Jangan ‘Ngerusuhin’ Bisnis Swasta
"PPN yang dipungut bisa dikreditkan untuk pengurang pajak yang disetorkan kepada kas negara,” jelasnya.
Meskipun OTA asing telah mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, kenyataanya pajak tetap dibebankan kepada pihak hotel. Ini karena mereka tidak memiliki BUT.
Pentingnya Pengawasan
Nailul menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap penyetoran pajak ini.
"Penyetoran pajak dengan dokumen yang tercatat harus benar-benar diawasi," tegasnya.
BACA JUGA: Koperasi PHRI Jabar Jalin Kerjasama dengan BPR Kerta Raharja, Berikan Pinjaman Tanpa Bunga
Selain itu, OTA asing diwajibkan mendirikan kantor perwakilan di Indonesia untuk memudahkan konsumen dalam menangani masalah reservasi. Termasuk, memudahkan petugas pajak dalam validasi data perpajakan.
"Dengan adanya kantor perwakilan, petugas pajak kita tidak akan kebingungan saat perlu melakukan validasi data," tuturnya.
Sebenarnya, isu penertiban OTA asing sudah lama disuarakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Selama ini, hotel terpaksa harus menanggung beban pajak tersebut.
BACA JUGA: Dana Hibah Pariwisata Rp 3,3 Triliun Dikirim ke-101 Daerah, Pajak Hotel Menentukan
"Mereka membebankan pajak ke kami, pihak hotel. Padahal, kalau OTA lokal, mereka yang bayar, bukan pihak kami. Ini tentu membebani kami," ujar Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, beberapa waktu lalu.
Maulana menambahkan bahwa ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan BUT menyebabkan kerugian.
Khususnya, bagi pelaku usaha hotel, konsumen, dan negara yang kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan PPN.
BACA JUGA: Pemkab Cirebon Bebaskan Sanksi Denda Pajak Hotel, Restoran dan Hiburan
"Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak," kata Alan, sapaan akrabnya.
Dari catatan yang ada, potensi pajak dari transaksi OTA asing bisa mencapai Rp3,18 triliun.
Sedangkan, potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi mencapai Rp318,67 miliar.
Alan pun berharap pemerintah segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini.
"Kami sudah melaporkan kepada pemerintah untuk menuntut keadilan, namun hingga kini respons dari Ditjen Pajak belum ada," pungkasnya. ***