Ketua Asphija Hana Menilai Penerapan Pajak Hiburan Karena Dorongan Stigma
KLIKNUSAE.com – Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Hana Suryani menilai penerapan pajak hiburan dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 lebih pada dorongan stigma.
“Kok saya jadi berpikir, UU ini lahir karena dorongan stigma ya. Bahwa tempat hiburan itu tempat orang buang-buang duit, sehingga boleh dipajaki setinggi-tingginya,” kata Hana ketika dihubungi Kliknusae.com melalui sambungan telepon, Rabu 10 Januari 2024.
Hana menyesalkan UU ini diterapkan ditengah-tengah kondisi perekonomian belum pulih sepenuhnya, pasca pandemi Covid-19. Apalagi sektor hiburan yang betul-betul terdampak hampir 4 tahun tidak bisa berusaha.
BACA JUGA: Pemkab Cirebon Bebaskan Sanksi Denda Pajak Hotel, Restoran dan Hiburan
Hana pun mempertanyakan, dasar dari penerapan pungutan pajak hiburan di UU No 1 tahun 2023 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Khususnya, dalam Pajak Barang dan Jasa (PBJT). Dimana, salam Pasal 58 ayat 2 disebutkan; Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 % dan paling tinggi 75%.
“Atas dasar apa, kebijakan PBJT/tempat hiburan ini diputuskan. Apalagi kami-kami yang bergerak di dunia usaha ini, sama sekali belum pernah diajak bicara. Mestinya, kan di sosialisasikan dulu. Apakah angka itu tepat dan tidak memberatkan,” jelas Hana.
BACA JUGA: Polisi Obrak-abrik Tempat Hiburan Garut, Ditemukan Ratusan Botol Miras
Memberatkan Para Pengusaha
Menurut Hana, pemerintah seharusnya melihat kondisi masyarakat dan dunia usaha sebelum mengeluarkan kebijakan.
Dikatakan Hana, pungutan 40 persen PBJT ini tidak saja memberatkan para pengusaha, tetapi juga konsumen itu sendiri.
“Jangan enak ngomong, kan itu pajaknya juga dipungut dari konsumen. Lha, kalau paradigmanya seperti ini, sama saja memberatkan masyarakat juga dong,” ujarnya.
BACA JUGA: Tempat Hiburan di Jakarta Alami Krisis, Kalau Pun Buka Hanya 50 Persen
Dikemukakan Hana, bahwa zaman sekarang sudah sangat berubah. Hiburan sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup.
Terutama untuk kaum milineal. Mereka sangat menbutuhkan tempat healing yang tidak harus melakukan perjalanan jauh.
Contohnya, anak-anak muda di Jakarta sekarang after bekerja selalu meluangkan untuk mencari hiburan. Apakah itu di kafe yang menghadirkan live musik, spa, club dan yang lainnya.
BACA JUGA: Hotman Paris Bangun Beach Club di Pangandaran, Ini Kata PHRI
“Sementara, milenial sekarang sangat menghitung budget. Datang ke tempat hiburan bukan untuk buang duit, tetapi memang benar-benar ingin refreshing,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya menyadari bahwa saat ini dunia usaha, utamanya tempat hiburan belum sepenuhnya membaik.
“Jangan melihat sekarang dunia usaha (hiburan) sudah menggeliat. Tapi, ya karena pejuang dapur harus bergerak. Kelihatannya saja hiruk-pikuk, padahal sebetulmya belum baik-baik saja,” tambah Hana.
BACA JUGA: Happy Puppy Karaoke Pilihan Lain Setelah Berwisata di Kota Bandung
Beli Minuman Beralkohol di Online
Terkait dengan pajak minuman, Hana juga melihat ada yang tidak adil. Paling tidak dengan fenomena yang terjadi sekarang ini.
Masyarakat bisa dengan muda membeli minuman beralkohol di online. Apartement juga dengan leluasa membuat private hiburan.
“Beli minuman di online cuma kena pajak 10 persen. Bagaimana juga dengan pesta-pesta di apartement, kontrolnya juga lemah. Ini yang seharusnya dilihat oleh pemerintah. Jangan kami yang legal, justru bebannya menjadi berat,” ungkapnya.
BACA JUGA: Memaksimalkan Potensi Wisata Jawa Barat, Disparbud Gelar Pelatihan Ini
Mensikapi hal ini, Hana bersama dunia usaha (hiburan) lainnya berencana untuk membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagaimana diketahui, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea juga mengeluhkan usaha jasa kesenian dan hiburan dikenakan pajak 40 persen.
Keluhan ini ia lontarkan melalui unggahan reels di akun Instagram miliknya @hotmanparisofficial, Sabtu 6 Januari 2024 lalu.
BACA JUGA: Disaksikan Kajari Subang, PT Sari Ater Raya Ciater Spa Setor Pajak ke Bapenda Subang
Ia menilai pungutan pajak 40 persen untuk usaha jasa hiburan sangat tinggi. Menurut dia, tarif pajak tersebut dapat mematikan usaha.
Ia juga mengajak para pelaku usaha hiburan lainnya untuk ikut protes mengenai hal ini.
"Apa ini benar!? Pajak 40 persen? Mulai berlaku Januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakkk," tulis Hotman dalam unggahannya itu. ***