MS Hidayat: Pemerintah Harus Terukur Dalam Pemberian Stimulus Dampak Covid-19
Kliknusae.com - Mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat belum merasa optimis pemerintah bisa menangani dampak ekonomi akibat wabah pandemi corona (Covid-19) secara cepat.
"Terus terang saya belum merasa optimis kalau melihat respon pemerintah saat ini, terutama dalam menanggulangi krisis ekonomi. Saya mengatakan ini, karena belum ada konsep yang terukur. Bagaimana stimulus dijalankan untuk mengatasi kemerosotan ekonomi,khususnya bagi para UMKM," kata Hidayat-yang juga mantan Menteri Perindustrian 2009-2014 ini dalam webinar Senior Kadin bertajuk "Mencari Terobosan Recovery Dunia Usaha dan Ekonomi Masa Pandemi dan Saran bagi Pemerintah Pusat & Daerah",Minggu malam (26/4/2020).
Menurut Hidayat, musibah pandemi corona yang bersamaan dengan krisis ekonomi belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Oleh sebab itu,dalam penanganannya pemerintah harus betul-betul matang dalam pemetaan krisis sosial.
Ia mencontohkan, pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008 pemerintah saat itu dengan cepat mengumpulkan para pelaku industri untuk meminta masukan, apa yang harus segera dilakukan agar tidak terjadi krisis berkepanjangan.
"Setelah melakukan diskusi dengan pemerintah, saya kumpulkan teman-teman untuk membuat proposal secara konkret. Dalam 10 hari proposal yang kita buat sudah bisa dipresentasikan. Dua minggu kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan, dimana 70 persen merupakan pandangan yang disampaikan para pelaku industri," ungkap Hidayat.
Sekarang ini yang sangat mendesak untuk dilakukan yakni memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Berkaca dari negara-negara Eropa,Singapura Jepang dan lainnya,mereka selain menanggulangi penyebaran Covid-19 juga memberikan stimulus yang diukur dari presentase Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kisarannya antara 10 persen. Stimulus ini diberikan dalam jangka waktu 6 sampai 1 tahun kedepan. Karena kalau bantalan sosial ini tidak segera dikucurkan, maka bisa menimbulkan gejolak sosial," kata Hidayat.
Gejolak sosial tersebut terjadi bukan karena politik,melainkan datang dari masyarakat bawah yang bingung dan sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Disamping angkatan kerja tidak berjalan, ditambah sektor informal yang terhenti karena adanya pembatasan sosial.
Ditambahkan Hidayat, di Indonesia sekarang ada 129 karyawan dengan gaji bulanan, baik itu dari BUMN,swasta dan sektor informal. Jika 40 persen saja yang lumpuh, tentu ini bukan jumlah yang sedikit.
"Paling tidak pemerintah harus menyiapkan dana sosial 100 triliun per bulan atau 600 triliun untuk 6 bulan kedepan. Jadi, kalau anggaran yang disiapkan hanya 408 triliun, masih jauh dari cukup," katanya.
Oleh sebab itu Kadin mengusulkan anggaran 1.600 triliun dengan sararan utama yakni menyelamatkan masyarakat kecil, termasuk pelaku UMKM yang paling rentan terhadap gejolak krisis ekonomu saat ini.
Rugi Rp 21 Triliun
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menyebutkan industri pariwisata diklaim menanggung kerugian setidaknya US$ 1,5 miliar atau setara Rp 21 triliun sejak Januari 2020 akibat pandemi Covid-19.
Angka tersebut terdiri dari risiko kerugian akibat kehilangan pendapatan dari turis China senilai US$ 1,1 miliar dan sisanya US$ 400 juta dengan nilai kerugian dari wisatawan asal negara lain.
Ditambahkan, akibat merebaknya pandemi tersebut, tingkat hunian kamar hotel atau okupansi hotel klasifikasi bintang rata-rata hanya menembus 49,2 persen.
"Daerah-daerah tujuan pariwisata yang paling merasakan jumlah wisatawan yaitu Manado, Bali, dan Batam. Data Kemenparekraf, hingga pekan kedua April, juga mencatat sebanyak 180 destinasi dan 232 desa wisata di Indonesia ditutup.Hariyadi, yang juga Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), juga mengatakan saat ini setidaknya 1.674 hotel dan 500 restoran di Indonesia sudah berhenti beroperasi.
Dampaknya, sebut Hariyadi, beberapa hotel sudah melakukan penawaran cuti hingga merumahkan pekerja hariannya. Adapun, pekerja kontrak dan tetap tetap diberikan waktu kerja secara bergiliran.
"Hal ini dilakukan perusahaan agar cashflow, tetap terjaga di mana saat ini perusahaan perhotelan mencoba untuk menjaga pengeluaran untuk pekerja di angka 50 persen dari periode biasanya," katanya.
Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kunjungan wisatawan mancanegara pada Januari-Februari 2020 hanya 2,16 juta orang atau turun 11,8 persen dari periode yang sama tahun lalu. Kunjungan yang tercatat di BPS per Februari 2020 juga tercatat anjlok 28,85 persen secara tahunan.
(adh)