PHRI: Secara Umum Okupansi Hotel Turun
Kliknusae.com - Tingkat hunian hotel secara nasional belum menunjukan tren yang membaik. Begitu pun saat memasuki libur Natal dan Tahun Baru okupansi hotel justru turun di banding tahun-tahun sebelumnya.
"Harga tiket masih menjadi penyumbang turunnya tingkat hunian hotel. Ini problem yang belum terselesaikan sehingga menjadi pemicu lemahnya daya saing ditingkat nasional. Orang lebih banyak traveling ke luar negeri di bandingkan berwisata di dalam negeri," demikian dikemukakan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yusran Maulana ketika dihubungi Kliknusae.com, Kamis (26/12/2019).
Yusran mencontohkan di Sumatera Barat yang selama ini menjadi tujuan wisatawan nusantara (wisnu) cukup terkena dampaknya. Padahal sebagai lumbung wisnu, semestinya Sumatera Barat bisa menyumbang lebih besar lagi putaran ekonomi setiap dua kali dalam satu tahun, yakni ketika libur Lebaran dan Natal-Tahun Baru.
"Namun faktanya dari mulai November 2018,begitu terjadi kenaikan tiket pesawat, di Desember mulai terjadi penurunan hingga berlanjut pada Lebaran 2019. Sekarang ditutup tahun 2019, juga tidak membaik. Malah turun sampai 5 persen," lanjut Alan-begitu sapaan akrab Yusran.
Untuk di daerah Sumatera, selain harga tiket bencana alam seperti jalan putus juga menjadi salah satu faktor penyebab menukiknya okupansi hotel. Banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan.
"Tapi yang paling terasa pengaruh tiket pesawat. Apalagi tidak ada ekstra flight lagi untuk Sumatera Barat dalam menyambut momen Natal dan Tahun Baru serta lebaran. Jadi dua kali momentum itu tidak terjadi," kata Alan-yang juga Ketua PHRI Sumatera Barat ini.
Menurut Alan, informasi yang diperoleh dari daerah tongkat hunian hotel dipengunjung tahun 2019 tidak memperlihatkan tanda-tanda membaik.
"Mereka menyampaikan, daya saing di dalam negeri sangat lemah sehingga banyak wisatawan yang memilih ke luar negeri. Coba bayangkan, dengan jarak yang sama di dalam negeri, kok harga tiketnya bisa sama dengan keluar negeri," ungkap Alan.
Ditambahkan bahwa tidak semua yang pergi berlibur memiliki keleluasan waktu. Banyak para wisatawan juga dibatasi waktu,seperti lama cuti,libur sekolah.
"Jadi, transportasi udara masih menjadi yang paling fleksibel. Kalau pun ada moda transportasi seperti kereta api, kondisinya juga ada yang sudah overload. Memang, ada pertumbuhan jalur darat,tapi bagi seorang traveller itu belum menjamin langsung mencapai target dalam waktu yang cepat," paparnya.
Selama ini pengambil kebijakan menganggap pricing tiket pesawat yang sekarang dianggap sudah wajar. Tetapi lupa, bahwa sebenarnya yang harus dipikirkan pemerintah itu adalah bagaimana bisa mengatur harga tiket sudah bisa memiliki daya saing.
"Sebagai stakeholder kita ini kan bisa menghitung. Masak ada harga tiket yang keluar untuk jarak yang sama keluar negeri, kok harganya bisa lebih murah. Dibanding dengan jarak yang sama, traveling di domestic," tandas Alan.
Sebut saja ke Jepang dengan Rp 5 juta sudah bisa pulang-pergi. Begitu pun ke Bangkok. Bandingkan dengan Jakarta-Sumater,misalnya.
"Jadi orang lebih pilih ber-experience untuk pergi keluar negeri. Karena cost of travelling yang paling utama ditentukan adalah transportasinya. Kalau transposrtasinya saja apple to apple tidak kompetitif, orang tidak akan memindahkan perjalanannya dengan new experience," tutupnya.
(adh)