Dampak Pemotongan Anggaran Perjalanan Dinas, Hotel di Bandung Terancam PHK Karyawan

KLIKNUSAE.com - Dampak pemotongan anggaran perjalanan dinas benar-benar menjadi ancaman serius industri perhotelan.

Bahkan, dipastikan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan, akibat perusahaan tak kuat menanggung beban subsidi.

Kekhawatiran tersebut disampaikan  Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi ketika dihubungi Kliknusae.com, Kamis 13 Februari 2025.

Menurutnya, keluarnya Inpres  Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD 2025 berpotensi memicu gelombang PHK di sektor perhotelan.

Tidak hanya itum kebijakan  ini juga  memberikan dampak besar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini memasok kebutuhan hotel.

“Sejak pemotongan anggaran perjalanan dinas diberlakukan, tingkat okupansi hotel menurun drastis. Banyak hotel di Bandung yang selama ini bergantung pada tamu dari kegiatan pemerintah mengalami penurunan pendapatan yang signifikan," kata Dodi.

"Jika kondisi ini terus berlanjut, PHK karyawan tidak bisa dihindari,” sambungnya.

Ia menambahkan bahwa sektor UMKM yang selama ini memasok bahan makanan, perlengkapan hotel, hingga jasa lainnya juga akan merasakan dampaknya

“Ketika hotel mengalami penurunan tamu, otomatis permintaan terhadap produk UMKM pun berkurang. Ini akan menjadi efek domino yang berbahaya bagi perekonomian lokal,” jelasnya.

Begitu pun kebijakan ini juga membuat daerah kehilangan cukup besar pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata.

“Selama ini kan, kita dari hotel dan restoran selalu masuk dalam 5 besar yang berkontribusi terhadap PAD daerah,” ungkap Dodi.

BACA JUGA: PHRI Jawa Barat Minta Pemerintah Segera Tertibkan Apartemen dan Kost-kostan

Bergantung pada MICE

Menurut Dodi, selama ini hotel di Bandung 40-50 persen hidupnya bergantung dari kegiatan MICE pemerintah.

“Dari Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PHRI dalam Munas XVIII di Bogor, seluruh BPD PHRI se-Indonesia menilai kebijakan ini tanpa melalui kajian mendalam. Terutama, terhadap dampak yang akan ditimbulkan,” kata Dodi.

Bahkan utusan seperti BPD PHRI Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi sangat keras menyuarakan perlunya kebijakan tersebut ditinjau ulang.

Bagi hotel, lanjut Dodi, untuk bisa mendapatkan Break Even Point (BEP)  okupansi hotel itu harus bisa mencapai 50 persen.

“Kalau sekarang ini kan tinggal 30 persen okupansi. Mungkin pengusaha hotel bisa bertahan tiga bulan ke depan untuk melakukan subsidi. Setelah itu, pasti akan melakukan pemangkasan karyawan atau PHK,” ujar Dodi.

Ditambahkan Dodi, dalam rentang waktu Februari, berdasar laporan Riung Priangan dan Indonesian Hotel General Manager Association, hotel sudah kehilangan pendapatan sebesar Rp. 12,8 miliar.

Artinya, ada potensi penggangguran cukup besar dari sektor pariwisata. Belum lagi multiplier effect yang ditimbulkan.

Seperti terjadinya pemutusan kerjasama dengan pelaku UMKM yang selama ini menjadi pemasok kebutuhan hotel.

“Karena pemesanan tidak ada. Seperti kebutuhan sayuran,daging, telor dan lainnya, pelaku UMKM ini pendapatannya juga berkurang. Dan, pada akhirnya, jika tidak bisa bertahan mereka juga kan akan melakukan PHK kepada pegawainya,” tandas Dodi.

Termasuk, asosiasi perjalanan wisata yang selama ini melayani kunjungan perjalanan dinas ikut terhenti.

“Usaha penyediaan makanan dan minuman oleh-oleh penghasilannya berkurang, karena tidak ada pengunjung. Berarti  nasib mereka kan sama. Gak usah bicara untung, bertahan saja tidak akan bisa, karena tidak ada pembeli,” lanjut Dodi.

Untuk itu, dalam salah satu rekomendasi hasil Munas XVIII PHRI 2025 akan membawa persoalan ini ke Menteri Pariwisata dan DPR RI. Bahwa dampak pemotongan anggaran jangan dianggap hal yang sepele.

“Kami sudah sepakat untuk bertemu menteri dan DPR untuk menyampaikan kondisi ini. Bahwa dampak yang akan ditimbulkan dengan keluarnya Inpres  Nomor 1 Tahun 2025, luar bisa efeknya,” tutup Dodi. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae