Nasi Uduk Bu Omas Memasuki Industri 4.0

Kliknusae.com - Tak beda dengan pedagang kaki lima (PKL) lainnya. Warung nasi uduk yang mangkal di Jalan Ganesa,tepatnya di depan Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB), Kota Bandung ini terlihat ramai sejak pukul 06.00 pagi.

Udara sejuk, di naungi pepohonan yang rindang membuat pengunjung serasa tak ingin segera beranjak. Apalagi dengan berbagai pilihan menu yang membuat selera makan bangkit. Ada kentang goreng kering,opor ayam,telor balado,tumis buncis, ayam siwir-siwir,bihun,semur jengkol,bergedel dan pilihan lainnya.

Bu Omas, pemilik warung nasi uduk dan nasi kuning ini sudah berjualan sejak tahun 2007. Pada awal mangkal di Jalan Ganesa ITB, belum begitu banyak pedagang yang ikut berjualan.

"Paling juga ada  tiga atau orang yang jualan. Kalau sekarang, sudah ramai pisan," kata Omas saat ditemui Kliknusae.com, Rabu (21/8/2019).

Seiring perjalanan waktu, warung nasi uduk Bu Omas kini selalu dipadati pengunjung. Kebanyakan mereka adalah para mahasiswa dan dosen. Buka dari pukul 06.00 sampai pukul  15.00 WIB menjelang sore.

Pada hari libur seperti Minggu, Omas menggeser dagangnya di ujung Jalan Ganesa (depan Rumah Sakit Boromeos) untuk melayani pembeli yang tengah berativitas di Car Free Day (CFD).

"Tapi kalau sedang ramai sekali, jam 12 siang juga sudah pulang karena semua sudah habis," sambung Sutep (40), putra tertua Ibu Omas yang selama ini membantu melayani pembeli.

Nasi uduk dengan menu telor balado,tumis kacang buncis,ketang goreng kering dikenakan harga Rp 15.000, sudah termasuk air teh tawar panas.

Jika ingin menu lengkap kisaran antara Rp.20.000 - Rp. 23.000 per porsi.

"Sekarang harga cabai sudah mahal, sekilo bisa sampai Rp. 80 ribu. Tapi kan kita gak ingin menghilangkan sambal. Nanti kumaha atuh, kurang sedap," kata Omas mengeluh karena tingginya harga cabai.

Rata-rata omset per hari dari berjualan nasi uduk, Omas yang tinggal di kawasan Cicaheum,Kota Bandung ini bisa membawa pulang uang antara Rp. 1-1,5 juta.

Ada enam orang yang membantu Omas untuk mempersiapkan menu dagangannya yakni  tiga orang sebagai juru masak dan belanja di rumah, dan tiga orang lagi membantu melayani pengunjung.

Belakangan terjadi lonjakan pendapatan setelah ikut pembayaran secara digital. Di warung nasi uduk bu Omas sudah bisa bertransaksi dengan aplikasi OVO.

"Saya mah, tidak tau yang begitu. Anak saya yang ngerti. Tapi bagi ibu, sangat membantu sekali karena tidak perlu repot-repot kasih kembalian. Ibu tinggal menyiapkan makanannya saja," kata Omas dengan senyum mengembang.

Menurut Sutep, dirinya baru dua minggu ini menggunakan OVO dan ternyata sebagian besar mahasiswa yang makan ditempatnya pembayarannya menggunakan OVO.

"Banyak juga mahasiswa yang minta cash back (tarik uang), karena tidak pegang uang. Ya, kita layani kalau masih sebatas 100 sampai 200 ribu. Kalau sampai jutaan tidak ada," aku Sutep.

Sutep sendiri pernah mengajukan untuk bisa ikut program grab food dan go food namun hingga saat ini belum ada tanggapan dari perusahaan Gojek maupun Grab.

"Aplikasinya sudah ada, tapi saya matikan saja. Habis belum jalan. Sekarang tinggal OVO, untuk melayani pembayaran non cash," jelas Sutep.

Rani, salah seorang mahasiswi ITB  mengaku sangat terbantu dengan layanan pembayaran melalui aplikasi OVO. Apalagi pada saat tidak membawa uang, bisa makan dengan cukup mengarahkan hp-nya ke flyer berlogo  barcode.

"Kalau tarik uang disini belum pernah sih, tapi teman saya ini sering," kata Rani sambil menunjuk temannya.

Bagi Bu Omas, memasuki industri 4.0 adalah sebuah keniscayaan. Tren di dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber tak lagi bisa dihindari.

(adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya