Kebijakan Efisiensi Lanjutan Kian Menekan Industri Hotel di Jawa Barat
KLIKNUSAE.com – Kebijakan efisiensi lanjutan yang digulirkan Kementerian Keuangan kembali menjadi sorotan pelaku usaha perhotelan di Jawa Barat.
Sejak terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, tingkat hunian hotel di provinsi ini nyaris tak beranjak.
Dampak paling nyata terlihat di Kota Bogor. Sejumlah hotel di kota hujan itu memilih menghentikan operasional karena tak lagi sanggup menutup biaya operasional harian.
“Kita benar-benar terpukul,” ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, saat dihubungi Kliknusae.com, Senin 11 Agustus 2025.
Menurut Dodi, sebagian besar hotel selama ini menggantungkan pendapatan dari kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE), yang kerap didominasi agenda pemerintah.
Pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan rapat di luar kantor otomatis menggerus sumber pemasukan utama.
“Kita belum tahu apa yang terjadi ke depan, jika efisiensi lanjutan ini terus berlangsung,” kata Dodi.
Ia khawatir gelombang penutupan hotel akan meluas, terutama di daerah yang pasarnya mengandalkan tamu dari instansi pemerintah.
Memiliki Kontribusi Besar
Dodi menuturkan, industri perhotelan memiliki kontribusi besar terhadap pemasukan negara, baik melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun devisa.
Namun, sejak kebijakan efisiensi diberlakukan, tingkat hunian hotel di Jawa Barat rata-rata hanya bertahan di kisaran 40 persen.
“Dengan kondisi okupansi seperti ini, pihak hotel pasti rugi. Untuk menutup biaya operasional saja tidak akan cukup,” ujarnya.
Nada kekhawatiran serupa juga disampaikan Ketua Riung Priangan, Arief Bonafianto.
Meski belum ada laporan penundaan rapat pemerintah usai pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kelanjutan efisiensi, ia mengungkapkan okupansi hotel pekan ini tidak mengalami perubahan signifikan.
“Minggu ini okupansi anyep (hambar) di Kota Bandung,” kata Arief.
Riung Priangan yang menaungi hotel-hotel bintang di Kota Bandung berharap pemerintah memberi perhatian dan solusi atas kondisi ini.
Menurut Arief, dampak penurunan okupansi tidak hanya berpengaruh pada perolehan PAD, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah sosial. Seperti pengurangan tenaga kerja di sektor perhotelan.
Sebagaimana diketahui Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi mengatur mekanisme efisiensi anggarankementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda) pada 2026.
15 item yang dipangkas
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
"Dalam rangka menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah, pemerintah melakukan penyesuaian belanja negara melalui efisiensi belanja dalam APBN," jelas Pasal 2 ayat (1) beleid tersebut.
Ada 15 item yang diminta dihemat pada tahun depan antara lain alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya.
Kemudian; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; serta percetakan dan souvenir.
Lalu, sewa gedung, kendaraan, dan peralatan; lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; dan infrastruktur.
Sebanyak 15 item itu sama persis dengan yang ditetapkan dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025.
Bedanya, Sri Mulyani tidak merinci berapa persentase efisiensi yang harus dipenuhi K/L dari masing-masing item tersebut.***