Dampak Pemotongan Anggaran Pemerintah, Industri Hotel Kehilangan 24,8 Triliun

KLIKNUSAE.com - Pemotongan anggaran pemerintah berdampak signifikan terhadap industri perhotelan di Indonesia.

Menurut data terbaru, sektor ini mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp 24,807 triliun. Ini akibat berkurangnya kegiatan yang sebelumnya dibiayai oleh pemerintah.

Seperti perjalanan dinas, seminar, dan acara resmi lainnya.

Rincian kerugian tersebut yakni dialami akomodasi sebesar Rp. 16,538 triliun dan meeting Rp 8,269 triliun.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran untuk perjalanan dinas dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) menjadi faktor utama turunnya tingkat okupansi hotel. Terutama di kota-kota yang bergantung pada kegiatan pemerintahan.

"Pemerintah selama ini menjadi salah satu penyumbang utama tingkat hunian hotel di berbagai daerah. Dengan adanya pemotongan anggaran, otomatis banyak acara yang dibatalkan.  Atau dikurangi skalanya, sehingga berdampak langsung pada pendapatan hotel," ujar Hariyadi di acara Musyawarah Nasional (MUNAS) XVIII yang berlangsung, Selasa 11 Februari 2025 di Royal Garden Safari, Cisarua, Bogor.

BACA JUGA: BPD PHRI Jawa Barat Raih Penghargaan sebagai Daerah dengan Anggota Penuh Terbanyak di Indonesia

Efek Domino

Dampak ini paling dirasakan oleh hotel-hotel berbintang di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.

Dimana, selama ini menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis.

Selain penurunan okupansi, sektor perhotelan juga mengalami efek domino terhadap industri terkait, seperti katering, transportasi, dan jasa event organizer

"Sektor pariwisata kerap dielu-elukan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, namun realitasnya masih jauh panggang dari api," kata Haryadi.

“Kita tidak pernah secara politik menjadikan pariwisata sebagai sektor yang diprioritaskan. Selalu dianggap sebagai aksesori saja,” tambah Haryadi.

Meski begitu, ia meminta para pelaku usaha di sektor ini untuk tidak berkecil hati.

Justru, menurutnya, kondisi ini harus menjadi pemicu agar industri pariwisata Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Thailand, misalnya, masih bertengger di puncak daftar negara dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara terbanyak di ASEAN.

Malaysia dan Vietnam pun mencatat angka kunjungan yang lebih tinggi dari Indonesia. Bahkan, sejak 2019, pertumbuhan sektor pariwisata Vietnam melesat, mengungguli Indonesia.

“Vietnam, yang sebelum 2019 masih relatif seimbang dengan kita, sekarang mendahului,” ujar Hariyadi.

Untuk mengejar ketertinggalan ini, ia menegaskan perlunya dukungan konkret dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Apalagi, dampak ekonomi dari sektor pariwisata dirasakan langsung oleh masyarakat, lebih dari sektor-sektor lainnya.

“Mungkin ini yang membedakan industri pariwisata dengan yang lain,” kata dia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Desember 2024 mencapai 1,24 juta, naik 13,95 persen dibanding bulan sebelumnya.

Secara kumulatif, sepanjang 2024, jumlah wisatawan asing yang masuk ke Indonesia mencapai 13,90 juta kunjungan, meningkat 19,05 persen dibanding tahun sebelumnya.

Namun, tren ini masih fluktuatif. Setelah melonjak pada April 2024, angka kunjungan menurun pada September hingga November, lalu kembali meningkat di penghujung tahun.

Tantangan ke depan jelas tak mudah. Tanpa keseriusan pemerintah, sektor pariwisata Indonesia masih akan tertinggal di belakang negara-negara tetangga. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae