Kurangnya Regulasi dan Transparansi, Melahirkan Pungli di Kawasan Wisata
KLIKNUSAE.com - Munculnya berbagai masalah di kawasan wisata karena dinilai belum adanya regulasi tentang pengelolaan pariwisata daerah.
Salah satu contoh faktual adalah temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang pungutan liar (pungli) senilai Rp18,25 miliar di Raja Ampat, Papua Barat.
Temuan ini mengindikasikan tidak adanya regulasi yang jelas tentang pengelolaan pariwisata di daerah tersebut. Oleh sebab itu, perlu segera dirumuskan, bagaimana aturan untuk melakukan pengelolaan pariwisata di daerah.
"Dengan adanya regulasi yang jelas, pengelolaan pariwisata di daerah akan berjalan sesuai aturan. Namun, kenyataannya justru sebaliknya," demikian pendapat Pakar pariwisata Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Chusmeru, seperti dikutip dari Media Indonesia, Senin 15 Juli 2024.
BACA JUGA: Digetok Tarif Bus Rp150 Ribu, Pelaku Pariwisata Bandung Geram
Chusmeru menegaskan pentingnya ketentuan yang jelas mengenai pembagian investasi antara investor, pemerintah, dan masyarakat.
Regulasi yang mencakup pajak hotel dan restoran (PHR), pungutan resmi penyewaan kapal, dan tiket masuk objek wisata juga harus diatur dengan baik.
Pemerintah, katanya, perlu membuat peta jalan pariwisata untuk lokasi wisata daerah seperti Raja Ampat, agar visi dan misi pengembangan pariwisata menjadi lebih jelas.
Sementara itu, masalah lainnya yang disorot Chusmeru adalah manajemen pengelolaan pariwisata di daerah yang tidak profesional dan kurang transparan, sehingga memicu maraknya pungli.
BACA JUGA: Tokoh Pariwisata Bicara Pungli di Geopark Ciletuh, Ini Penjelasannya
Pungutan Liar di Raja Ampat
"Transparansi dalam pengelolaan pariwisata sangat penting. Uang pungutan itu digunakan untuk apa? Apakah disetorkan kepada pemerintah daerah atau untuk masyarakat?" tanyanya.
Di satu sisi, Chusmeru menilai pungli di Raja Ampat mencerminkan sikap masyarakat. Dimana, warga merasa bahwa tanah dan laut yang menjadi objek pengelolaan pariwisata adalah milik mereka.
Pungli dilakukan oleh masyarakat kepada wisatawan. Terutama, yang datang dengan kapal wisatawan yang akan menuju lokasi menyelam di kawasan wisata Raja Ampat. Wisatawan ini dikenakan biaya antara Rp100 ribu hingga Rp1 juta.
BACA JUGA: Gubernur Jabar Berharap dari Connecti:City Lebih Banyak Terbangun Kesepahaman
Selain itu, masyarakat juga menagih pembayaran tanah kepada hotel yang berdiri di pulau-pulau tersebut.
"Mereka merasa memiliki hak atas sumber daya alam di daerah itu," imbuhnya.
Chusmeru berpendapat pungli tidak akan terjadi jika masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan pariwisata.
Menurutnya, pembangunan pariwisata di sejumlah daerah sering kali menjadi proyek pemerintah dan investor, tanpa melibatkan masyarakat.
"Akibatnya, masyarakat ingin berebut 'kue' pariwisata itu," pungkasnya. ***