Alat Pendeteksi Covid-19 GeNose Tak Maksimal Untuk Perokok

JAKARTA, Kliknusae.com - Tak secepat yang dibayangkan. Alat pendeteksi Covid-19 GeNose ternyata belum bekerja maksimal. Kritikan pun bermunculan dari sejumlah ahli.

Salah satunya, Epidemiolog asal Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono. Ia mengatakan status GeNose masih tahap eksperimental, belum bisa dipakai dalam pelayanan publik khususnya screening virus corona.

Ia menyatakan yang dimaksud dengan izin edar dengan kedaruratan yang hanya berlaku setahun, dapat dibatalkan sewaktu-waktu.

"Masih perlu penyempurnaan dan uji validasi yg benar," kata Pandu sebagaimana dilansir  CNNIndonesia.com, belum lama ini.

Pandu mengaku mengikuti pernyataan Ketua tim pengembang GeNose Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuwat Triyana, yang mengakui alat GeNose tidak optimal kalau orang yang dites merokok atau makan makanan menyengat seperti petai hingga jengkol.

Kuwat menyatakan pasien satu jam sebelum pengetesan dilarang mengkonsumsi alkohol. Kedua, pasien diizinkan untuk makan satu jam sebelum pengetesan namun disarankan tidak mengkonsumsi makanan dengan aroma sensitif seperti jengkol, durian, juga petai.

Ketiga, pasien juga tidak boleh merokok satu jam sebelumnya. Menurut Pandu, GeNose memiliki kelemahan saat mulut orang yang dites nanti sudah terkontaminasi.

"Ini kan orang Indonesia perokok semua, doyan makan petai jadi GeNose ini untuk apa?" ujar Pandu.

Pandu pun membeberkan bahwa ide GeNose bukan asli dari UGM atau Indonesia. Beberapa negara seperti Singapura juga sudah pernah melakukan eksperimen yang sama, yakni membuat alat deteksi Covid-19 lewat napas. Namun negara-negara tersebut memutuskan untuk tidak menggunakan itu sebagai alat deteksi SARS-CoV-2.

Pandu menekankan rapid test antigen atau swab PCR masih menjadi alat deteksi Covid-19 yang paling akurat di dunia.

"Jadi untuk apa kita glorifikasi yang ternyata malah kontra dengan Covid-19. Sudah ada antigen, tes PCR. Di negara lain juga sudah ada eksperimen GeNose, cuma diputuskan tidak dipakai," kata Pandu.

Pandu kemudian menduga Kemenristek saat ini hanya ingin berlomba untuk menunjukkan prestasi di hadapan Presiden terkait mengatasi pandemivirus corona di Indonesia. Namun sayangnya, hal itu justru kontraproduktif.

Menurut Pandu, dengan kelemahan yang dimiliki GeNose, pemerintah lebih baik fokus pada alat tes yang sudah ada dan mengoptimalkan 3T, yakni testing, tracing, dan treatment.

GeNose Lemah dengan Rokok hingga Petai

Staf Khusus Menristek/ Kepala BRIN Ekoputro Adiyajanto mengakui merokok atau makan yang menyengat akan mengurangi keefektifan pengetesan GeNose.

"Oleh karena itu, SOP-nya adalah sebelum melakukan skrining dengan geNose, setengah jam sebelum pengetesan, pengguna atau pasien tidak boleh merokok, minum minuman dengan rasa yang kuat seperti teh atau kopi, atau makan makanan yang menyengat seperti durian, petai, jengkol," kata Eko.

Atas dasar itu, untuk amannya, Eko berharap pengguna atau pasien disarankan tidak mengonsumsi apa pun setengah jam sebelum tes Covid-19 GeNose. Namun demikian Kemenristek mengklaim akan menjadikan evaluasi terhadap kritik dari ahli soal GeNose.

Senada dengan Pandu, Ahli Biologi Molekuer Ahmad Rusdjan mengatakan gas yang keluar dari mulut atau nafas untuk tes GeNosenanti memang sangat sensitif.

"Ya soalnya karena ini (napas) kan gas ya. Karena gas itu juga kan sifatnya sensitif," kata Ahmad.

Bau-bau tersebut, ia katakan mungkin saja mempengaruhi hasil sehingga GeNose tak dapat mendeteksi Covid-19 dengan benar.

"Ya kan misal dia makan petai, apa berpengaruh? Terus abis makan siang dan buru-buru harus tes. Atau bagaimana dengan orang yang sakit Mag. Itu kan dia suka bersendawa, nah apa itu juga berpengaruh," kata dia.

Ia mengatakan setiap alat yang digunakan dalam mendiagnosa penyakit pasti punya keterbatasan. Namun hal itu yang harus diketahui.

"Jadi saya belum tau banyak mengenai detail alat itu. Tapi ini lumayan cepat dan satu hal yang belum familiar. Dan penelitian seperti itu (Genose) banyak, tapi yang komersil baru pertama saya lihat," ucap Ahmad.

Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan penggunaan GeNose sebagai skrining awal Covid-19 untuk pelaku perjalanan tidak tepat karena tidak praktis dalam penggunaannya.

Ia juga menyebutGeNose juga tidak bisa digunakanuntukactive case findingatau penemuan kasus baru.

"Walaupun GeNose sudah diteliti dan dikaji, tapi memang tidak praktis dalam penggunaannya, jadi memang tidak tepat, dan memang bukan sebagai active case finding," tutur Hermawan.

Senada, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane juga mengatakan GeNose tidak tepat jika digunakan sebagai screening penumpang.

Menurut Masdalina, ada banyak kelemahan dari alat tersebut, di samping efektivitasnya yang menurun jika digunakan pada perokok.

"Ada risiko menularkan pada orang lain yang ada di belakangnya," kata Masdalina.

Masdalina juga menyebut GeNose juga belum mendapatkan penilaian yang disepakati para ahli.Klaim efektivitas GeNose, menurut Masdalina, juga baru dikeluarkan oleh tim peneliti.

"GeNose belum menjadi standar dalam pengendalian, publikasi efektivitasnya juga belum rilis sampai saat ini, baru ada klaim sepihak saja dari peneliti," tutur Masdalina.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengumumkan pemerintah ready viewed akan menggunakan GeNose buatan UGM di sejumlah stasiun kereta api di Indonesia mulai 5 Februari 2021.

Genose dikatakan memiliki keunggulan yakni tak memakan waktu banyak saat mendeteksi keberadaan Covid-19 dari tubuh seseorang. Dalam waktu kurang dari lima menit, hasil sudah bisa diperoleh.

Genose akan menganalisa partikel volatile organic compound (VOC) yang dikeluarkan spesifik penderita Covid-19 saat bernapas. Terkait akurasinya alat itu memiliki sensitivitas 92 persen dan spesifisitas 95 persen. (cnni/adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya