Di Jakarta Pengusaha Restoran Bangkrut, Di Bali Hotel Juga Ikut Kolaps

JAKARTA, Kliknusae.com - Bisnis restoran di Jakarta termasuk yang paling parah terkena dampak pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) jilid II.

Alih-alih, berusaha untuk bangkit di tengah pandemi corona (Covid-19), bisa bertahan saja sudah cukup baik.

Jika masih terjadi lagi PSBB berikutnya, dipastikan para pengusaha restoran di luar mal ikut gulung tikar alias tutup.

Sejak diberlakukan kembali PSBB Jilid II, pengelola yang membuka gerai di mal-mal sudah tak kuat beroperasi, mereka memilih untuk menutup total usahanya.

Wakil Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin memperkirakan banyak restoran yang saat ini tutup sementara tidak lama lagi harus tutup permanen dalam beberapa bulan ke depan.

Penyebabnya adalah tidak diizinkannya aturan makan di tempat atau dine-in, juga perkiraan bakal bertambah lamanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat.

"Yang masih bertahan sekalipun berpikir untuk tutup. Karena daripada buka tapi hanya boleh take away, mending tutup sekalian. Dan yang tutup permanen saya perkirakan mungkin di November-Desember tutup itu sekitar 30-40%, dan itu di mal saja," kata Emil kepada CNBC Indonesia kemarin.

Adapun saat ini diperkirakan jumlah restoran yang berlokasi di Mal-Mal Jakarta sekitar 4.000-an tempat usaha. Sekitar 1.500 di antaranya berpotensi tutup permanen.

Hal ini bakal membuat operasional pusat perbelanjaan makin sepi. Pasalnya, sebagian besar tenant yang mengisi di mal berasal dari restoran.

Untuk bisa bangkit kembali, Emil menyebut perlu ada aksi korporasi bagi pengelola restoran seperti tambahan modal sangat diperlukan bagi para pemegang saham.

Meski demikian, hal itu sangat sulit terjadi dalam waktu dekat, apalagi di tengah bisnis restoran yang kian tidak menentu. Calon investor atau pemegang saham bakal berpikir panjang.

"Harus cari pemegang saham lain, siapa yang mau ikut suntikan dana baru. Mungkin dia sendiri nggak kuat, makanya cari pemegang saham lain. siapa yang join. Atau mungkin Pinjaman bank lain," jelas Emil.

Nasib tidak jauh berbeda dialami oleh pelaku usaha di restoran yang berdiri sendiri. Emil menyebut sudah banyak mendapat laporan bahwa pengusaha restoran di luar mal sudah gulung tikar.

"Yang saya tahu restoran lokal punya yang punya sendiri misal seperti ayam bakar. Itu banyak yang sudah tutup permanen, ada yang udah dijual. Misalnya di Grogol dan kawasan lain," jelasnya.

Setali Tiga Uang

Nasib yang sama juga dialami pengusaha hotel di Bali yang sudah banyak yang memilih tutup usaha. Bak setali tiga uang, akomodasi di Pulau Dewata ini juga terimbas tekanan PSBB seperti yang dialami pengusaha restoran di Jakarta.

Sekjen PHRI Maulana Yusran mengatakan sepinya turis akibat pandemi Covid-19 membuat banyak hotel memilih tutup karena tingkat hunian yang amat rendah.

"Dengan pandemi ini, untuk Wisman (wisatawan mancanegara) hampir nol. Kalau kita bicara ke hotel saja, dari sisi akomodasi, mereka banyak tutup," ungkapnya kepada CNBC Indonesia.

Dia menjelaskan bahwa industri pariwisata memang industri yang sangat membutuhkan pergerakan orang. Dengan begitu, ketika terjadi banyak pembatasan praktis membuat industri ini terpukul.

"Karena situasi pandemi ini pergerakan orang itu banyak dibatasi untuk menghindari adanya penyebaran virus atau mengurangi dampak penyebaran virus tersebut. Kondisi saat ini kalau kita bicara Bali itu memang bicara kondisinya cukup berat ya, karena bahwa pembatasan pergerakan-pergerakan ini sudah terjadi dari bulan April Maret," ucapnya.

Selain itu, menurutnya, selama ini Bali punya pasar andalan Wisman. Kini, pasar andalan itu lenyap seiring ditutupnya pintu masuk bagi turis asing ke Indonesia.

"Targetnya bukan hanya domestik tapi mancanegara dan dominasinya kalau kita lihat dari sisi hotel itu kontribusi daripada Wisman itu cukup lebih besar daripada domestik. Di sekitar lebih dari 30% ya itu dikontribusikan oleh Wisman," ucapnya.

Hal ini menurutnya juga berdampak kepada industri ekonomi kreatif di Bali. Tak hanya hotel dan restoran, UMKM di Bali juga terdampak cukup berat.

"Sehingga aktivitas kita kalau bicara Bali itu hampir seluruh aktivitasnya itu konteksnya adalah pariwisata baik itu sektor-sektor dari akomodasi saja, tapi udah termasuk ekrafnya," katanya.

Jadi, hampir seluruh masyarakatnya itu fokusnya adalah mayoritas adalah di sektor pariwisata. Begitu kontribusi daripada Wisman itu juga kecil atau hampir nol, tentu kegiatan aktivitas ini banyak berhenti.

Sejauh ini, dia menyebut bahwa tingkat okupansi hotel secara nasional dari Juni sampai September memang mulai tumbuh di angka 20-25%. Artinya ada pertumbuhan walaupun masih kecil.

"Kemudian kalau Bali tentu masih single digit, karena Bali itu telat bukanya di Juli. Kita juga masih fokus ke domestik. Saya jelaskan tadi di awal bahwa kalau domestik itu dibuka semua ke Bali pun paling maksimal okupansi 20-25% paling tinggi 30%," urainya. (*/adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae