New Normal; Media Shifting dan Transformation di Tengah COVID-19

Penulis ; K. SWABAWA, CHA

SAYA berpandangan bahwa kondisi new normal merupakan tahapan yang biasa, yang luar biasa adalah objek yang harus diperhatikan dalam perubahan tersebut.

Ungkapan saya ini tentunya bukan tanpa alasan, jika kita telah memahami dengan baik arus perubahan yang mulai terjadi sejak pesatnya kemajuan teknologi informasi dan digital atau yang dikenal dulu namanya era revolusi industri 4.0.

Bahasan kala itu dimana VUCA, Disruption dan Shifting adalah wacana fenomenal yang awalnya disikapi secara denial bagi beberapa kalangan. Namun, akhirnya itu adalah suatu fakta ! Saat itu, kita hanya disajikan perubahan yang diawali oleh teknologi informasi tersebut. Berbagai platform bisnis secara online dan berbasis digital mulai bermunculan.

Sadarkah kita bahwa itu juga adalah New Normal saat itu? Dimana sebelumnya orang "sedikit malu" menumpang ojek dan akhirnya biasa saja kemana-mana menggunakan fasilitas ojek online.

Dalam buku saya yang berjudul 7C's Leadership Pyramid (2019) saya menulis bahwa di era revolusi industri 4.0 seorang pemimpin perusahaan harus mengadaptasikan karakter kepemimpinannya pada dinamika arus perubahan ; memiliki konsep kepemimpinan yang lebih terstruktur dan sistematis dalam mengelola organisasi serta mampu menjadi pemimpin perubahan.

Karena perubahan itu bisa datang dengan atau tanpa direncanakan. Contohnya, perubahan akibat wabah corona yang tidak pernah kita prediksi ini. Maka kuasailah apa yang disebut sebagai "Transformer Leadership" !

Khususnya di Bali, bahkan kondisi New Normal ini dapat kita rasakan jauh di masa 2002 dan 2005  lalu ketika Bom Bali I dan II meledak, dimana akhirnya mendorong industri berbagai sektor menerapkan sistem pengamanan terpadu.

Bahkan kita di industri perhotelan melakukan sertifikasi manajemen pengamanan hotel setelah kejadian tersebut. Sebagai proses sertifikasi tentunya ada standar baru yang harus diterapkan dan itu yang dinilai oleh para auditor yang terdiri dari unsur kepolisian, asosiasi, pemerintah dan tenaga ahli perhotelan. Itu juga kondisi new normal pada saat itu, yang akhirnya menjadikan itu sebagai hal biasa yang memang dianggap perlu oleh kalangan perhotelan.

Hal di atas perlu kita ingatkan kembali agar wacana New Normal ini tidak dianggap sebagai beban atau ancaman bagi industri bisnis.

Bahaya psikosomatik bisa mempengaruhi upaya pelaku menuju kesiapan mental menghadapi perubahan kedepannya. Jadi, wajib dipahami dulu kondisinya sebelum menginjak ke arah yang subtanstif poin pada kondisi mendatang.

Dan kini, objek perubahan itu muncul akibat wabah coronavirus yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan. Untuk itu, hal yang perlu diperhatikan bagi hotelier dalam menyikapi kondisi baru dalam operasional kedepannya adalah cukup sederhana dengan menyandingkan standar prosedur operasional dengan relevansinya pada standar kesehatan lingkungan yang diatur dari pihak terkait misalnya Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan.

Ada 3 hal pokok yang mesti diperhatikan dari segi kesehatan lingkungan di dunia perhotelan, yaitu : 1). Standar Kebersihan yang ditingkatkan ke arah higinis dan sanitasi (Hygiene and Sanitation Standard) ; 2). Pola Sentuhan dan pengaturan jarak antar manusia (Touch Point and Physical Distancing); dan 3). Penggunaan alat pengaman diri (Personal Protective Equipment / PPE).

Ketiga  hal tersebut dikembangkan sesuai area atau fasilitas hotel, ukuran dan karakter hotel, konsep operasional dan manajemen hotel serta hal lainnya sehingga memunculkan temuan terhadap bagaimana cara mengerjakannya, apa saja peralatan atau barang yang perlu ditambahkan atau diganti, jumlah orang yang akan dipekerjakan dan deskripsi tugasnya serta terakhir berapa angka yang muncul sebagai anggaran atas perubahan standar tersebut.

Semua hal tersebut dibahas secara detail sampai akhirnya lahir SOP yang mengandung konsep new normal. Jangan lupa bahwa konsep tersebut harus menjawab 2 hal minimum yaitu : 1). apa keluhan / ancaman selama pandemic ini,  dan 2). apa tuntutan yang menjadi kebutuhan pelanggan kedepannya?

Setelah itu mulai dengan orientasi dan training (socialization) kepada seluruh elemen karyawan hingga level terbawah.

Hal lain yang dapat menjadi tantangan pula bagi industri hotel dalam menyongsong new normal tersebut adalah dari faktor eksternal. Dicontohkannya mitra kerja seperti tranpsortasi dari luar, suplayer barang dan bahan makanan, atau lainnya.

Semua pihak tersebut juga harus mendukung upaya hotel dengan mempertimbangkan "touch point" yang pasti terjadi ketika serah terima dan penanganan barang-barang yang akan dikirim ke hotel. Pada divisi keuangan juga akan terjadi perubahan struktur biaya, contohnya pada kebutuhan chemical untuk daily cleaning yang nantinya wajib mengandung disinfektan untuk mencapai level kebersihan yang higinis dan sanitasi.

Biaya operasional otomatis akan naik karena harga barang dengan spesifikasi lebih tinggi cenderung akan lebih tinggi daripada regular product. Kenaikan bisa berkisar 10-18% , semoga tidak lebih dari segitu agar kita tidak terlalu tinggi menaikkan harga kamar nantinya.

Kenaikan biaya operasional lainnya akan dirasakan secara percentage selain dari segi nominal rupiah. Kita lihat meeting package yang biasanya 1 venue bisa hosting 100 pax kedepannya akan berkurang daya tampung pesertanya sehingga cost percentage dari paket meeting itu akan lebih tinggi.

Karena selain biaya makan yang variable mengikuti jumlah pax, ada biaya fixed lainnya dimasukkan ke dalam harga tersebut seperti sewa peralatan, biaya listrik (AC, lampu) serta lainnya.

Lalu dimana proses transformasi dan bentuk shifting dari pandemi COVID-19 ini?

Kita bisa menjadikan protokol kesehatan yang dititikberatkan pada dimensi kehidupan makro pasca pandemi kedepannya merupakan proses transformasi suatu produk pariwisata ke arah kenyamanan yang sepenuhnya (utmost comfort), dimana sebelumnya atensi diprioritaskan pada estetika dan etika yang ditampilkan melalui produk dan layanan.

Dalam kondisi new normal post COVID-19, hal ini dapat kita lihat dalam bentuk barunya dengan tambahan logika dan dinamika. Bahwa produk pariwisata harus mampu mengikuti perubahan dan penyesuaian yang realistis terhadap perkembangan jaman dan perubahan perilaku konsumen tanpa menghilangkan definisi wisata tersebut.

Selain hal di atas, kita bisa melihat kondisi new normal yang akan datang tersebut akan dapat menjadi akselerator dalam proses  transformasi menuju quality tourism. Bahwa hal ini hendaknya ditransformasikan sebagai peluang untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas. Sumber Daya Manusia menjadi lebih baik karena diperkaya dengan pengetahuan dan wawasan kesehatan baik untuk dirinya, keluarga dan lingkungannya selain di area hotel saja.

Pola hidup sehat yang menjadi budaya walaupun terkesan dipaksakan, namun itu sudah menjadi kebutuhan personal bagi setiap orang kedepannya. Artinya, harga kamar yang meningkat nantinya akan diasumsikan dengan kualitas produk yang membaik.

Nah, mampukan hotel berkomitmen secara konsisten dengan apa yang telah dipersiapkan sebagai konsep new normal di operasionalnya ?

Jawabannya ada pada teori Shifting; bahwa pergeseran perilaku konsumen telah terbukti membuka peluang besar bagi perusahaan dalam merebut pangsa pasar tertentu. Karena itu maka konsistensi industri perhotelan dalam menerapkan standar baru tersebut merupakan "kewajiban" dan senjata utamanya untuk membidik market yang telah bergeser pola dan perilakunya tersebut.

Penjelasan lebih lanjut kita bisa dapatkan dari bagian teori pemasaran yang lalu yaitu bagaimana cara mengelola pelanggan. Jauh sebelum masa COVID-19 ini semua manajemen bisnis perusahaan menerapkan yang namanya Customer Relationship Management, dimana goalnya adalah the highest customer satisfaction.

Langkahnya dimulai dari project positive attitude, understand the product, identify customer type and needs, deliver services, analyze the result dan terakhir improvement relations. Artinya saat ini perusahaan harus siapkan dulu sisi internalnya agar bisa memenuhi sisi eksternal yang ada pada diri konsumen.

Hal ini dilakukan terus menerus karena konsumen adalah yang bayar pekerjaan kita. Bukan berarti konsumen adalah raja yang harus disembah dan diikuti segala perintahnya, namun sebagai raja yang patut dihormati dan dilayani secara profesional.

Maka dari itu tidak ada alasan bagi hotel untuk tidak konsisten pada komitmennya dalam menampilkan new normal of hotel operations sebagaimana yang telah menjadi bagian dari perubahan jaman.

Terakhir, terkait judul artikel saya ini saya ingin mengingatkan kembali

Welcome to New Normal !

*Penulis adalah pemegang Double Diamond dalam Certified Hotel Administrator dari American Hotel and Lodging Educational Institute (AHLEI), USA sejak 2014.

Share this Post:

Berita Terkait