IMF Punya Catatan "Mengerikan" Soal Ekonomi Dunia

"Begini hitung-hitungan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait pandemi corona (Covid-19). Andai pandemi virus corona tidak juga reda pada semester II-2020, maka kontraksi ekonomi global akan bertambah 3 poin persentase dari baseline -3%. Artinya ekonomi dunia terkontraksi -6%."

Kliknusae.com - Gambaran yang disampaikan IMF ini benar-benar membuat merinding. Bagaimana tidak,pertumbuhan negative -3 % saja sudah bisa memporak-porandakan tatanan ekonomi global,apalagi tertekan di -6%.

Merilis laporan ekonomi terbarunya. Di dalamnya tergambar betapa seramnya prospek ekonomi dunia akibat serangan pandemi virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid.19).

Lembaga yang berkantor pusat di Washington (Amerika Serikat/AS) itu memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif -3% pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.

Dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, IMF menyatakan bahwa pandemi virus corona akan membuat krisis keuangan global 2008-2009 akan malu hati.

Sebab, krisis akibat virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini jauh lebih parah.

"Ini adalah krisis yang tidak sama dengan krisis lainnya. Sekarang begitu banyak ketidakpastian tentang bagaimana hidup dan kehidupan manusia. Kita bergantung kepada epidemilogi dari sang virus, efektivitas upaya pencegahan penularan, pengembangan vaksin, yang semuanya tidak mudah untuk diprediksi," sebut Gita Gopinath, Penasihat Ekonomi IMF.

IMF menyebut krisis akibat pandemi virus corona bersifat multi-dimensi. Sejatinya ini adalah krisis kesehatan, karena memang biang keroknya adalah virus. Namun kemudian sudah bisa dibilang sebagai krisis kemanusiaan karena korban meninggal sudah mencapai ratusan ribu orang.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 13 April 2020 adalah 1.773.084 orang, bertambah 76.498 orang dibandingkan hari sebelumnya. Sementara pasien meninggal berjumlah 913.349 orang, bertambah 77.419 orang dibandingkan hari sebelumnya.

Penyebaran virus yang begitu cepat dan luas membuat pemerintah di berbagai negara terpaksa membatasi aktivitas dan mobilitas publik. Maklum, virus menular seiring intensitas interaksi dan kontak antar-manusia.

ini, ratusan juta atau bahkan mungkin miliaran orang harus 'terkurung' di rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Kodrat manusia sebagai makhluk sosial seakan dicabut, karena sekarang yang harus dilakukan justru social distancing. Kontak sosial dengan manusia lain, apalagi dalam jumlah banyak dan jarak yang dekat, menjadi hal yang tabu.

Bahkan beberapa negara seperti India dan Filipina menerapkan kebijakan yang lebih ekstrem yaitu karantina wilayah alias lockdown.

Warga sama sekali tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan mendesak, transportasi publik tidak beroperasi, kantor dan pabrik ditutup, sekolah diliburkan, dan berbagai pantangan lainnya. Aparat keamanan siap menindak tegas siapa saja yang berani melanggar.

Berbagai kebijakan pembatasan aktivitas publik ini membuat roda perekonomian berjalan sangat lambat, atau bahkan mungkin hampir berhenti sama sekali. Krisis kesehatan dan kemanusiaan bertransformasi menjadi krisis ekonomi.

"Seiring kebijakan penanggulangan virus, berbagai negara memberlakukan karantina dan social distancing. Dunia memasuki fase Lockdown Besar (Great Lockdown). Magnitudo dan kesepakatan kejatuhan aktivitas bisnis mengikutinya, dan ini belum pernah dialami sepanjang hidup kita. Lockdown Besar adalah resesi terbesar setelah Depresi Besar, dan jauh lebih buruk ketimbang krisis keuangan global," sebut Gopinath.

Namun, ada harapan pandemi virus corona akan reda pada paruh kedua 2020. Dengan berbagai kebijakan stimulus baik fiskal, moneter, dan sektor riil, IMF memperkirakan ekonomi dunia akan bangkit pada 2020 dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8%.

Meski begitu, pertumbuhan ekonomi yang impresif itu belum bisa menutup kerugian akibat serangan virus corona. IMF menghitung kerugian ekonomi akibat wabah ini mencapai US$ 9 triliun, lebih besar dari perekonomian Jerman plus Jepang.

Bukan apa-apa, sebab pandemi virus corona telah memukul semua negara tanpa terkecuali. Negara mau maupun negara berkembang merasakan dampaknya, beda dengan krisis keuangan global di mana negara maju merasakan dampak paling parah sementara negara berkembang masih bisa bertahan.

Di sisi lain, IMF juga punya perhitungan yang lebih mengerikan. Andai pandemi virus corona tidak juga reda pada semester II-2020, maka kontraksi ekonomi global akan bertambah 3 poin persentase dari baseline -3%. Artinya ekonomi dunia terkontraksi -6%.

Skenario lain adalah jika pandemi bertahan sampai tahun depan. Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi dunia akan mendapat kontraksi tambahan 8 poin pesentase dari baseline 5,8%.

Jadi ekonomi dunia pada 2021 bukannya tumbuh tetapi terkontraksi -2,2%.

Urusan ke depan kita lihat saja nanti, sekarang kita pikirkan dulu apa yang ada di depan mata. First thing first.

IMF menilai kebijakan terbaik saat ini adalah memang membatasi aktivitas masyarakat sembari mendorong sektor kesehatan untuk mengambil peran.

Tidak ada timbang-menimbang antara menyelamatkan nyawa dengan urusan perut. Sebab kala urusan kesehatan sudah selesai, maka aktivitas ekonomi bisa bergulir kembali.

Akan tetapi, pemerintah dan berbagai otoritas lainnya harus memastikan bahwa rakyat tetap bisa memperoleh berbagai kebutuhan mereka selama aspek kesehatan menjadi prioritas utama. Urusan perut juga harus mendapat perhatian dong.

"Stimulus fiskal, moneter dan keuangan yang besar, tepat waktu, dan tepat sasaran sudah dilakukan oleh berbagai negara. Ini bisa menjadi penyelamat bagi rumah tangga dan dunia usaha, dan harus tetap dilanjutkan selama fase penanganan virus corona untuk mengobati luka akibat anjloknya investasi dan hilangnya lapangan kerja," jelas Gopinath.

Pada akhirnya, IMF menegaskan bahwa krisis corona pasti suatu saat akan berakhir. Sudah ada negara yang sukses menekan penambahan jumlah pasien dan korban jiwa menggunakan pendekatan social distancing secara masif. Vaksin juga terus dikembangkan.

"Namun untuk saat ini, ketidakpastian memang masih sangat tinggi. Mempertimbangkan skala dan kecepatan krisis ini, respons kebijakan harus besar, cepat, dan mampu beradaptasi. Keberanian para dokter dan perawat harus diimbangi oleh para pengambil kebijakan agar kira bisa melalui krisis ini bersama-sama," papar Gopinath.

(adh/cnbc)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae