PHRI Yogyakarta Rekomendasikan Anak Bangsa Bikin Aplikasi "Oyo"

Kliknusae.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merekomendasikan agar anak bangsa bisa membuat aplikasi Manajemen Hotel Virtual (MHV) serupa Oyo.

Hal ini tidak saja untuk menjaga kearifan lokal dalam menerapkan tarif hotel,tetapi juga supaya dana dari transaksi melalui MHV kembali lagi ke dalam negeri.

"Jika dari dalam negeri ada yang bisa membuat aplikasi serupa Oyo, kami pasti pilih itu. Sekarang, semua dana dari transaksi semua pergi keluar. Saya sebut saja Oyo itu ke-India. Kita dapat apa? Belum lagi munculnya persaingan harga yang tak karua-karuan sehingga sudah mulai merugikan industri hotel disini," demikian disampaikan Ketua PHRI Yogyakarta Deddy Pranowo kepada Kliknusae.com,Selasa (03/12/2019).

Deddy dimintai tanggapannya terkait maraknya MHV yang mulai membanting harga untuk memanfaatkan moment libur akhir tahun.

Menurut Deddy, untuk sebuah aplikasi yang tak begitu rumit seperti Oyo,Redoorz,Airy dan lainnya,banyak putra-putra bangsa yang mampu menciptakan. Bahkan bisa lebih baik dari yang ada sekarang.

"Tinggal sekarang bagaimana pemerintah bisa mendukung hal ini. Saya melihat Menteri Pendidikan Nadiem Makarim punya kapasitas untuk itu.Bagaimana mendorong supaya dari dalam negeri juga bisa membuat MHV," tambahnya.

Deddy menjelaskan, Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia menargetkan dapat memenuhi sekitar 90 persen okupansi hotel.

Namun, dengan kehadiran bisnis hotel virtual (BHV) dapat menghambat target okupansi yang ingin tercapai.

"Bisnis hotel virtual menimbulkan dampak persaingan yang tidak sehat semakin meluas, dan resistensi ini telah dirasakan oleh hampir seluruh Indonesia," ucapnya.

Ditambahkan Deddy, harus ada regulasi yang jelas dari pemerintah untuk mengatur masalah bisnis hotel dengan sistem online ini. Utamanya terhadap operator yang dinilai tidak memperhatikan kaidah bisnis yang selayaknya dimiliki hotel.

"Mereka itu tidak memiliki badan hukum yang jelas, dan menyebabkan hilangnya potensi penambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah) pada sektor pariwisata," ujarnya.

Ironinya lagi,lanjut Deddy, BHV saat ini telah mengambil beberapa home stay dan kos-kosan yang secara legalitas belum memiliki izin namun mengambil alih gedung yang tidak berizin lalu dijadikan hotel.

Selain itu juga dari segi keamanan yang tidak mumpuni layaknya standardisasi hotel yang ada.

"Selain dari segi keamanan yang rentan, mereka juga tidak mengikuti bahkan melalaikan kewajiban membayar pajak luar negeri atau PPH pasal 26," kata Deddy.

PHRI Yogyakarta berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan para pelaku hotel yang benar-benar mengikuti regulasi hukum yang ada di Indonesia.

"Kami selama ini selalu mengikuti regulasi yang diterapkan pemerintah. Hotel diminta memiliki beberapa sertifikasi, kami laksanakan. Dan itu, kami bayar mahal untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Lalu,bagaimana dengan MHV itu. Tidak memiliki izin segala macam,tetapi bisa mengelola hotel bahkan mengambil kos-kostan yang jelas dari sisi peruntukan,regulasinya pun tidak ada," papar Deddy.

Dikemukakan Deddy, beberapa hotel kecil di Yogjakarta sudah mulai merasakan mudhoratnya bekerjasama dengan aplikasi dari luar tersebut.

"Ada hotel yang dirugikan karena kontraknya diputus begitu saja. Bahkan hotel bintang juga sudah mulai rishi dengan praktik seperti Oyo dan lainnya ini," tandas Deddy.

Deddy juga mengingatkan agar dalamĀ  memutuskan untuk bekerjasama dengan VHM tersebut harus dipikirkan terlebih dahulu dampak jangka panjangnya.

(adh)

Share this Post:

Berita Terkait

E-Magazine Nusae