PHRI: Dirut AA Berkontribusi Pada Rontoknya Okupansi Hotel

Kliknusae.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai kebijakan Garuda Indonesia dibawah kepemimpinan Direktur Utama I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra Ari Askhara (AA) telah menyebabkan rontoknya okupansi hotel di Indonesia.

"Okupansi Januari-Mei drop-nya antara 20-30 persen (overall). Itu yang mengakibatkan semester I ditahun 2019 ini menjadi terjelek dalam 5 tahun terakhir. Pengaruhnya cukup signifikan karena kenaikan harga tiket pesawat dan juga cargo," demikian dikemukakan Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang ditayangkan Tv-One, Selasa malam (11/12/2019).

Jawab tersebut disampaikan Haryadi menjawab pertanyaan Karni Ilyas, apakah Garuda Indonesia dibawah Dirut AA telah membuat praktek kartel.

ILC tadi malam menampilkan tema diskusi Ketika Garuda "Diserempet" Moge. Siaran Live tersebut membahas soal penyelundupan sepeda motor gede Harley Davidson dan sepeda Brompton yang melibatkan 5 direksi PT Garuda Indonesia Tbk.

Kelima direksi tersebut telah dicopot dari jabatannya, termasuk "aktor utama" I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara.

Baca Juga: Soal Tiket Pesawat, Ini Isi Surat PHRI Ke Presiden

Sementara keempat lainnya adalah Direktur Operasi, Bambang Adi Surya; Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha, Mohammad Iqbal; Direktur Teknik dan Layanan, Iwan Joeniarto; dan Direktur Human Capital Garuda Indonesia Heri Akhyar

Dipaparkan Haryadi, bahwa sejak  Januari lalu hotel dan restoran mengalami dampak kenaikan harga tiket yang cukup tinggi.Naiknya juga tidak tanggung-tanggung yakni  2 kali lipat.

Sempat terjadi penurunan harga tiket pada Desember 2018 sampai berlanjut ke bulan Mei 2019. Namun setelah itu naik lagi hingga sekarang.

"Kondisi ini yang kami keluhkan pada waktu itu. Apalagi kenaikan tiket pesawat dan kargo terjadi pada saat tingkat hunian kamar hotel rendah (low season)," kata Haryadi.

Padahal, Garuda Indonesia sebagai maskapai pemerintah semestinya memposisikan sebagai penyeimbang maskapai lain. Bukan malah sebaliknya, memberlakukan harga yang sama.

Dalam masa sebelum Dirut AA, Garuda Indonesia bersama Citilink masih menjadi penyeimbang ketika harga tiket competitor mengalami kenaikan.

Baca Juga: Imbas Tiket Pesawat Okupansi Hotel di Luar Jawa Anjlok

"Namun, belakangan kemudian harga itu jadi hampir sama semua, kecuali AirAsia. Nah itu yang kami lihat bahwa seusatu sangat tidak sehat dalam persaingan penerbangan domestic kita," lanjut Haryadi.

Soal kemungkinan terjadi praktek kartel di Garuda Indonesia,jelas Haryadi, masalahnya saat ini sedang ditangani oleh Komite Pengawasa Persaingan Usaha (KPPU).

"Sudah dalam penyelidikan KPPU Pak Karni dan sampai saat ini belum putus, posisinya seperti apa," jawab Haryadi.

Oleh sebab itu PHRI berharap dengan kepemimpinan direksi yang baru di Garuda Indonesia, soal harga tiket dan kargo ini bisa segera diatasi.

Baca Juga: Direktur Garuda Dipecat,Akankah Praktek Kartel Berakhir

Banyak dampak yang timbulkan akibat harga tiket  dan kargo yang naiknya cukup signifikan tersebut. Tidak saja jumlah penerbangan yang berkurang, sektor riil seperti penjual oleh-oleh usaha kecil menengah (UKM) juga terkena imbasnya.

"Bahkan Angkasa Pura sendiri ikut terkena karena jumlah penumpang di airport jadi berkurang. Nah, ini yang sebetulnya kita berharap pergantian direksi ini ke depan akan menjadi lebih baik," pintanya.

PHRI memberikan saran jika ada permasalahan cost atau biaya-biaya  di penerbangan sebaiknya buka saja.

"Waktu itu juga sempat dibicarakan mengenai avtur, kita juga tau ada pemain baru mau men-support suplay avtur dari  dari swasta. Tapi dari akhir tahun lalu sampai sekarang juga tidak kasih izinnya," ungkapnya.

Padahal suplayer avtur ini merupakan kompetiror pertamina yang bisa memberikan harga yang lebih kompetitif. Dengan avtur murah, struktur biaya penerbangan akan menjadi baik dan unjungnya tiket bisa  lebih terjangkau.

https://www.youtube.com/watch?v=kwwuIzLJpUU

(adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya