Soal Tiket Pesawat, Ini Isi Surat PHRI Ke Presiden
Kliknusae.com - Sampai hari ini harga tiket pesawat masih "melangit". Beberapa rute penerbangan ke destinasi wisata mengalami penurunan. Penyebabnya, berat diongkos. Belum lagi ditambah dengan bagasi berbayar yang dihitung bukan selisih berat,tetapi secara keseluruhan.
Contoh, jika Anda membawa bagasi dengan muatan lebih dari 7 kg, maka biaya yang harus ditanggung adalah dihitung dari awal yakni 7 kg + kelebihannya. Per kilogram Rp 20.000 x 7 kg, jadi kocek yang harus dikeluarkan Rp.140.000,-.
Bagi milenial atau backpacker tentu saja perhitungan diatas sangat memberatkan sehingga ujungnya mereka menunda untuk melakukan perjalanan.
Problem inilah yang menjadi salah satu point surat Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) yang dikirim ke Presiden Joko Widodo.
Berikut isi Surat bernomor 442/BPP-PHRI.XVII/08/2019 tertanggal 29 Agustus 2019 yang ditandatangani langsung Ketua Umum PHRI Haryadi BS Sukamdani.
Industri hotel khususnya dan sektor pariwisata pada umumnya telah mengalami keterpurukan terkait harga tiket pesawat sejak desember 2018.
Momentum lebaran dan tahun baru adalah merupakan hal penting bagi sektor pariwisata khususnya terkait dengan wisatawan nusantara yang angka pergerakannya mencapai 275 juta.
Pada semester 1 di tahun 2019 telah kehilangan momentum lebaran yang berdampak pada penurunan occupancy 20-40% di seluruh Indonesia.
Semester 2 di tahun 2019 belum terjadi perbaikan karena belum adanya penyelesaian permasalahan harga tiket.
60% occupancy hotel di daerah pada umumnya secara nasional diisi oleh berbagai kegiatan pemerintah yang menggunakan anggaran APBN.
Hal ini juga diakibatkan karena mayoritas daerah di Indonesia belum memiliki destinasi pariwisata pariwisata seperti di Bali, DKI Jakarta dan lain sebagainya.
Bisnis trip khususnya kegiatan Pemerintah masih menjadi andalah perekonomian daerah. Untuk itu tiket pesawar masih menjadi triger untuk kegiatan pemerintah ke daerah.
Terlalu lamanya penyelesaian permasalahan harga tiket pesawat berdampak pada hancurnya pembangunan di sector pariwisata yang telah dilakukan sejak tahun 2015 di tahun 2019.
Dampak tingginya harga tiket membuat masyarakat harus terbang keluar negeri terlebih dahulu untuk travelling domestic.
Contoh dari Aceh, Padang, Pekanbaru, Batam dan lain sebagainya. Permasalahan ini tanpa disadari juga akan berdampak pada hilangnya devisa negara dan memberi keuntungan devisa terhadap common enemy pariwisata Indonesia yaitu "Malaysia".
Dengan kata lain bahwa sector pariwisata menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan akibat mahalnya harga tiket pesawat.
Bandara yang telah dibangun secara masiv di nasional mengalami penurunan di terminal domestic sampai 30% dan peningkatan di terminal Internasional dikarenakan masyarakat harus terbang ke luar negeri terlebih dahulu untuk melakukan perjalanan domestik.
Daya saing pariwisata Indonesia kalah dibanding, negara lain, karena travelling domestic lebih mahal dibanding keluar negeri sehingga berdampak turunnya pergerakan wisnus dan lesunya ekonomi didaerah.
Perjalanan bisnis domestic sudah tidak nyaman lagi, khususnya pada daerahdaerah di luar pulau jawa, pebisnis tidak dapat memesan tiket pesawat last minute. Hal ini disebabkan berkurangannya flight schedule yang ada, atas kebijakan masing-masing operator karena harga mahal dan load factor menurun.
Tiket dengan harga murah hanya didapat pada umumnya didaerah pulau jawa, karena adanya kompetisi moda transportasi baik darat, laut maupun udara dan didukung dengan terintegrasinya jalan tol trans jawa. Namun hal ini tidak terjadi untuk diluar pulau jawa.
Terkait permasalahan-permasalahan di atas, PHRI menyampaikan usulan agar pemerintah harus segera menyelesaikan permasalahan kenaikan harga tiket pesawat dengan menambah kompetisi operator pesawat untuk penerbangan domestik.
(adh)