Kenapa Indonesia Keok Di Bidang Investasi,Ini Kata Pelaku Industri
Kliknusae.com - Wajar Presiden Joko Widodo (Jokowi) kecewa berat karena dari 33 perusahaan asal Tiongkok tak satu pun yang tertarik berinvestasi di Indonesia. Mereka memiliki merelokasi perusahaannya ke negara Vietnam (23), Malaysia (10) dan sisanya pergi ke Thailand dan Kamboja.
"Problem investasi ini sudah lama terjadi. Kami dari industri telah memberikan masukan kepada Presiden,tetapi implementasi di ujungnya jauh dari yang diharapkan. Satu kementerian dengan kementerian lain sering tak singkron dalam kebijakan. Jadi menurut saya, titik krusialnya lebih kepada deregulasi," kata CEO Tirapah Bysra Management Maulana Yusran kepada Kliknusae.com, Kamis (5/9/2019).
Menurut Yusran-yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), sebetulnya Presidan berkali-kali menyampaikan keinginan, bagimana mempermudah peluang investasi melalui regulasi. Termasuk merevisi dana negative investasi,cara memperoleh perijinan melalui Online Subission System (OSS), dan lainnya.
"Jadi, menurut saya, yang perlu segera dilakukan adalah evaluasi regulasi. Ini juga yang kami sampaikan sesuai permintaan presiden melalui Mensesneg, masukan apa dari PHRI dan beberapa asosasiasi pengusaha lain. Sebab yang kami rasakan, regulasi ini yang menjadi kendala utama di lapangan," kata Yusran.
Pemerintah dalam membuat sebuah aturan belum ada singkronisasi antara satu kementerian dengan kementerian lainnya. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih (overlapping) sehingga menimbulkan kesulitan dan biaya tinggi."Ini yang memberatkan investor. Wajar kalau kemudian kita kalah dengan Vietnam,Bangkok dan negara tetangga lainnya," lanjut Yusran.
Birokrasi di Indonesia selalu menjadi kendala untuk peluang investasi.Jangankan pengusaha asing,pengusaha local saja,kata Yusran,sering mengalami kesulitan. Belum lagi ditambah masalah pajak yang dinilai sangat tinggi.
"Kira-kira kalau di sektor pariwisata, pertanyaannya sama, kenapa keluar negeri lebih murah naik pesawat ketimbang di dalam negeri. Seharusnya ini PR yang mudah,tapi karena tidak diseriusi untuk dibahas, akhirnya ya begini," tambah Yusran.
Kementerian terkait seharusnya memahami,kenapa presiden kecewa berat soal tak diliriknya Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi.
Sementara itu Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Badung,Bali I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya mengemukakan salah satu pertimbangan investor asing menanamkan investasi di Indonesia adalah faktor kenyamanan.
"Kalau di dalam negeri gaduh terus,mereka tidak mau mengambil resiko. Pengusaha itu kan menghitungnya untung dan jangka panjang. Kira-kira negara mana yang bisa menjamin keamanan, itu yang akan dipilih," kata Rai.
Dikatakan Rai, di Indonesia saat ini dinilai muncul gerakan-gerakan yang kurang pas bagi investasi. Ada kesan ingin keluar dari ideologi Pancasila dan NKRI sehingga dipandang investor kurang menguntungkan."Investasi ini kan jangka panjang (long term).Siapa yang berani menjamin keamanan itu. Banyak yang dilihat dalam berinvestasi. Padahal hasil riset sebelumnya bahwa investasi ke Asean itu, Indonesia termasuk the most favorite investment," kata Rai.
Indonesia memiliki potensi market yang besar,namun jika tidak diikuti dengan regulasi yang nyaman maka tak akan membuat investor tertarik.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo saat membuka rapat kerja terbatas,Rabu (4/9/2019) menyampaikan kekecewaanya karena beberapa perusahaan Tiongkok tak tertarik berinvestasi di Indonesia.
"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," tegas Jokowi di depan para menteri Kabinet Kerja.
Dibagian lain, Ketua Komite Bidang Kerjasama Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam Kadin Indonesia Juan Gondokusumo mengakui kelebihan yang dimiliki Vietnam dan Kamboja sampai Malaysia sehingga pengusaha China mau berinvestasi atau merelokasi perusahaannya di sana.
"Ini lebih keamanan dan stabilitas yang diterapkan di situ, lebih merasa nyaman bagi investor," kata Juan.
Ia menjelaskan, kondisi aman dapat dilihat dari tidak adanya demonstrasi para pekerja di sana. Keadaan ini berbanding terbalik dengan Indonesia, buruh kerap melancarkan demonstrasi, terutama soal kenaikan upah setiap menjelang akhir tahun.
"Di situ nggak mungkin ada demonstrasi. Jadi itu stabil. Lalu produktivitas mereka lebih tinggi dari kita," ucapnya.
Selain itu, ia menganggap, persoalan tenaga kerja di Indonesia yang menuntut kenaikan upah tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas.
Faktor stabilitas, keamanan, kemudahan perizinan dan produktivitas tenaga kerja menjadi kunci keberhasilan Vietnam dan Kamboja.
(adh)