Regulasi Genset Hotel Sebaiknya Ditinjau Ulang

Kliknusae.com - Aturan main pengadaan generator set (genset) di industri perhotelan sudah saatnya ditinjau ulang. Regulasi tersebut dinilai tidak "menguntungkan"  sekaligus menjadi ambigu dengan penerapan kebijakan di sektor yang sama.

"Blackout PLN kemarin itu menjadi momentum kami untuk mempertanyakan soal genset hotel ini. Bahwa genset yang dimiliki hotel hanya sebagai backup saat  aliran listrik yang dipasok PLN terhenti," kata Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Maulana Yusran kepada Kliknusae.com,Selasa malam (13/8/2019).

Menurut Alan-begitu sapaan akrab pria ini, ketika listrik padam semua hotel menggunakan genset sebagai backup agar operasional tetap berjalan. Sehingga ketika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan saat menggunakan PLN, genset jauh lebih besar cost-nya.

"Memang dalam kasus PLN mati beberapa waktu lalu, ada beberapa hotel di DKI Jakarta yang mengalami lonjakan okupansi, karena warga tak bisa mandi, kemudian pindah ke hotel. Tapi bukan berarti profit, sebab naiknya tingkat hunian hotel karena genset,dimana pada saat bersamaan hotel juga harus mengeluarkan extra cost," lanjut Alan.

PHRI sendiri memang tidak meng-collect kerugian yang di derita pengelola hotel secara detail. Namun pada umum mereka mengalami kerugian.

"Apalagi hotel kan tidak mungkin memberi charge ekstra tambahan untuk genset, karena itu tidak ada dalam komponen penjualan kita. Ini sudah menjadi resiko," tambah Alan.

Terhadap kepemilikan genset,lanjut Alan, pihaknya kembali mempertanyakan aturan main yang diterapkan bagi industri perhotelan. Terutama kaitannya dengan UU no 30 Tahun 2019 tentang pemanfaatan genset.

Semua hotel yang menggunakan genset harus memiliki  Izin Operasi dan Pengurusan Sertifikasi Laik Operasi (SLO) Genset.

"SLO ini nilainya cukup besar. Kita selama ini selalu berargumensi dengan pemerintah, kenapa kok hotel kena aturan ini. Padahal bagi kami kepemilikan genset itu hanya sebagai backup  saja jika  pemerintah gagal memenuhi kebutuhan listrik," jelas Alan.

Genset hotel bukan sebagai pembangkit listrik utama untuk dioperasikan menggantikan PLN, namun sekali lagi hanya sebagai backup saja.

"Kalau listrik dijamin tidak akan mati, kami juga tidak perlu membeli genset, karena bukan bagian dari investasi yang baik. Jadi dipakainya kalau lampu mati saja, sementara dalam struktur pembiayaan genset  ada depresiasi dan segala macamnya," tandasnya.

Pertanyaanya adalah, kenapa dalam mengadakan genset untuk kebutuhan hotel biayanya cukup tinggi

"Ini yang terus kami bahas dan on going untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Sebetulnya persoalan ini sudah kami sampaikan dari dua tiga tahun lalu. Nah, blackout PLN kemarin menjadi momentum kami untuk membahas ini lebih serius," kata Alan-yang juga Ketua PHRI Provinsi Sumatera Barat ini.

Bahkan Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani sudah sering menyerukan kenapa isu SLO genset ini tidak segera dievaluasi sama pemerintah. Seruan itu sudah disampaikan sejak 2016 lalu,namun tidak mendapat respon dari pemerintah.

"Akhirnya kejadian kan, saat listrik mati cukup lama, kita terpaksa menggunakan genset. Tidak ada lagi ilihan untuk mendapatkan tenaga listrik, selain pemanfaatan genset," lanjut Alan.

Beberapa keberatan terhadap SLO genset hotel adalah regulasinya yang tidak sama dengan industri yang sama.

"Genset itu kan sama dengan mobil. Pada saat kita sudah beli dan akan dipakai, kan tidak perlu disertifikasi. Paling operatornya diwajibkan harus memiliki SIM untuk menjalankan. Mobil itu dibeli dari dealer, yang tentunya si produsen sudah pasti mengantongi sertifikasi dari pemerintah," ungkap Alan.

Lalu, apa bedanya dengan diesel. Pembangkit listrik ini sebelum beredar juga sudah mengantongi. sertifikasi layak operasi.

"Kami pihak hotel kan hanya memakai. Sama seperti penggunaan lift atau eskalator, kami tidak diminta untuk mengurus SLO lift, karena semua itu sudah include dari produsen. Mereka yang urus. Tapi mengapa untuk diesel justru pihak hotel di wajibkan memiliki SLO genset," tanya Alan.

Kalau yang diminta memiliki SLO adalah operator genset,lanjut Alan, logikanya masih bisa diterima.

"Tapi ini kan tidak. Contoh saja, saat pemasangan lift mulai dari pemasangan dan pemeliharaan menjadi tanggungjawab penjual. Mereka yang memiliki sertifikasi. Kita tidak perlu mengurus. Trus, apa bedanya dengan genset," kata Alan.

Apalagi biaya pengurusan SLO genset ini dinilai cukup tinggi yakni mencapai Rp 60 juta per unit diesel.

Penggunaan genset di atas 200kVA harus memiliki izin dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM seperti Sertifikat Laik Operasi (SLO) dan izin operasi (IO).

"Itu pun setiap tiga tahun harus kita ulang lagi," tutup Alan.

(adh)

Share this Post:

Berita Terkait

E-Magazine Nusae