Sisa-Sisa Harapan di Bawah Gerimis Ciater Usai Pembongkaran

KLIKNUSAE.com – Gerimis yang turun di lereng perkebunan teh Ciater Senin siang, 11 Agustus 2025 itu seperti ikut menyapu sisa-sisa kehidupan para pedagang yang warungnya baru saja dibongkar.

Di tepi jalan yang biasanya ramai, kini hanya tersisa puing-puing kayu, seng, dan papan bekas. Jejak dari tempat usaha yang pernah menjadi tumpuan hidup.

Beberapa pria tampak membungkuk, memilah mana yang masih bisa diselamatkan.

Tangan mereka kotor bercampur tanah dan serpihan bangunan, namun tetap bekerja tanpa banyak bicara.

Di sudut jalan, Asep (52) berdiri mematung sejenak sebelum kembali mengangkat potongan papan yang dulunya menjadi etalase warungnya.

“Maung bilang apa lagi, Pak. Saya rakyat kecil, nggak punya kekuatan apa-apa buat mencegah pembongkaran ini,” ujarnya lirih.

Suaranya nyaris tenggelam di antara suara rintik hujan dan deru kendaraan yang lewat.

Asep mengaku, selama puluhan tahun berjualan di tempat itu, tak pernah ada keluhan dari pengguna jalan.

“Salah kami apa? Kami nggak merusak alam. Orang lewat juga nggak komplain. Tiba-tiba katanya mengganggu, dan ya… habis semua,” katanya sambil menunduk.

Tak jauh dari Asep, Ida (47) duduk di atas tumpukan papan bekas.

Wajahnya pucat, matanya sembab. Warung yang menjadi sumber penghasilan keluarganya kini tinggal kenangan.

Bayang-bayang ketidakpastian

“Dari warung ini kami bisa makan, nyekolahin anak. Sekarang… nggak tahu mau ke mana,” ucapnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Bagi Ida, pembongkaran ini bukan sekadar kehilangan tempat berjualan. Ini adalah kehilangan arah hidup.

Bayang-bayang ketidakpastian membentang di depannya, sama pekatnya dengan kabut yang siang itu mulai turun di kebun-kebun teh Ciater.

Di sepanjang jalan, pemandangan serupa terlihat. Beberapa pedagang memilih diam, sibuk mengumpulkan sisa yang mungkin bisa dimanfaatkan.

Ada yang memasukkan paku bekas ke dalam kantong, ada yang mengikat seng-seng penyok.

Semua dilakukan dalam senyap, seolah takut suara mereka pecah menjadi isak.

Di tengah hawa dingin Ciater, yang tersisa hanyalah kehangatan solidaritas di antara mereka.

Dan, tentu saja kenangan tentang warung-warung sederhana yang pernah menjadi denyut nadi kehidupan di pinggir jalan ini. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae