Di Tengah Ancaman Resesi Ekonomi, Hindari Investasi di Sektor Ini

KLIKNUSAE.com – Menteri Keuangan Srimulyani memproyeksikan dunia akan memasuki ancaman resesi ekonomi global.

Penyebabnya, karena kenaikan suku bunga acuan secara agresif yang dilakukan bank sentral berbagai negara untuk meredam laju inflasi.

"Kalau bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023," ujar Sri Mulyani, dikutip Kliknusae.com dari Kompas.com, pagi ini, Kamis 29 September 2022.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan dunia usaha. Apa yang harus dihindari dan bagaimana kelangsungan hidup individu saat berjalan di tengah ancaman resesi ekonomi dunia?

BACA JUGA: Tak Bergeming oleh Resesi Pandemi, Lion Air akan Luncurkan Maskapai Baru?

Penggunaan Dana Investasi

Lalu, perlukah mengurangi dana untuk investasi?

Meskipun tingkat kepemilikan uang tunai memang perlu ditingkatkan, Perencana Keuangan Alliance Group Indonesia Andy Nugroho menyebutkan, bukan berarti individu perlu mengurangi porsi investasinya.

Menurutnya, individu masih dapat berinvestasi, namun dalam instrumen berisiko rendah.

Selain itu, disarankan juga instrumen investasi yang dipilih dapat dicairkan dengan mudah menjadi uang tunai.

"Karena kalau berbentuk uang tunai semua, seperti yang kita tahu, misal berbentuk uang tunai, uang tersebut kemungkinan akan kita simpan di tabungan bank atau didepositokan. Bunganya, imbal hasilnya bisa dibilang minim, enggak kuat melawan inflasi," tuturnya.

BACA JUGA: Dalam Forum Investasi Jakarta, Anies Tawarkan Ini Kepada Para Delegasi

Oleh karenanya, Ia merekomendasikan individu untuk menempatkan dana investasinya di instrumen berisiko rendah seperti logam mulia atau deposito.

Reksa dana berbasis penghasilan tetap juga dapat menjadi pilihan.

"Yang enggak boleh, uang masih berbentuk properti, itu kan susah jualnya, perlu waktu. Itu yang dihindarin," ujarnya.

"Atau misal berisiko tinggi di pasar saham atau reksa dana berbasis pasar saham, itu kita hindari. Kenapa? Nanti ketika waktunya dibutuhkan, misal nilainya anjlok, itu membuat cadangan dana kita kurang," tambahnya

Namun demikian, jika individu memiliki profil risiko investasi agresif, maka kepemilikan saham masih bisa menjadi pilihan, dengan catatan tetap memperhatikan kondisi pasar dan prospek ke depan.

BACA JUGA:  AVPN Conference Bali Membuka Peluang Investasi Sektor Pariwisata

"Perlu atau tidaknya mengurangi kepemilikan saham, tergantung profil risiko masing-masing," ucap Andy.

Perlu Dana Eemergency

Sementara itu, Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno menjelaskan, resesi yang berpotensi terjadi nanti utamanya akan disebabkan oleh lonjakan inflasi.

Dengan demikian, individu perlu merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhannya.

Di sisi lain, resesi berpotensi mengganggu pendapatan individu. Risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi sangat mungkin terjadi, di tengah perlambatan roda perekonomian nasional.

"Karena itu memang masuk akal dalam kodisi seperti ini kita itu meningkatkan kita punya dana emergency," ujarnya. ***

Sumber: kompas.com

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae