OJK: LPS akan Jamin Risiko Kredit Bank Jangkar

Kliknusae.com - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan menjamin risiko kredit dari penempatan likuiditas ke bank pelaksana oleh bank peserta atau penyangga likuiditas (bank jangkar).

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan OJK bersama dengan Kementerian Keuangan tengah merumuskan mekanisme penyangga likuiditas oleh bank jangkar tersebut.

Hal tersebut menindaklanjuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

Dalam aturan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestui penempatan dana di bank jangkar. Untuk selanjutnya bank jangkar menjadi penyangga likuiditas bank pelaksana.

Dalam PP Nomor 23 Tahun 2020, bank jangkar adalah bank yang menerima penempatan dana pemerintah. Mereka juga bertugas menyediakan dana penyangga likuiditas bagi bank pelaksana.

Sedangkan bank pelaksana adalah bank umum konvensional dan bank umum syariah yang memberikan restrukturisasi kredit atau pembiayaan, serta memberikan tambahan kredit atau pembiayaan modal kerja.

Tak sembarang bank bisa menjadi bank jangkar. Bank harus memenuhi syarat yakni, merupakan bank umum yang berbadan hukum Indonesia, beroperasi di wilayah Indonesia, dan paling sedikit 51 persen saham dimiliki oleh WNI.

Lalu, mereka merupakan bank kategori sehat berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, mereka juga termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar.

"Kemarin kami sudah bahas dengan Kementerian Keuangan nanti akan ada penjaminan LPS, jadi apabila bank pelaksana ini tidak bisa kembalikan, nanti jalan terakhir di-assess melalui LPS dan memberikan jaminan dana yang disimpan di bank pelaksana," ujarnya melalui video conference, Jumat (15/5/2020).

Ia menjelaskan skema penyangga likuiditas dipenuhi dari kapasitas internal bank melalui pasar uang antar bank (PUAB) dan repo kepada Bank Indonesia (BI).

Kemudian, jika bank telah mencapai batas rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) sebesar 6 persen, maka mereka baru boleh menggunakan skema penyangga likuiditas tersebut.

Bank pelaksana yang membutuhkannya akan mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada bank jangkar.

Selanjutnya, pemerintah akan menempatkan dana kepada bank jangkar yang bertujuan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada bank jangkar untuk selanjutnya disalurkan kepada bank pelaksana.

Pemerintah sendiri mendapatkan dana untuk penyangga likuiditas tersebut melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia (BI).

Wimboh memastikan bank jangkar tidak akan merugi jika melakukan skema penyangga likuiditas tersebut. Pasalnya, bank jangkar akan menerima margin dari penempatan dana di bank pelaksana.

Margin tersebut berasal dari suku bunga penyaluran dana pemerintah kepada bank pelaksana tersebut. Besaran bunga, kata dia, setara dengan suku bunga SBN pemerintah yang dibeli oleh bank sentral.

Saat ini, pemerintah dan BI masih mendiskusikan besaran suku bunga tersebut.

"Jadi, apakah bank peserta mau? Ya mau, karena tadi likuiditas disangga pemerintah, lalu dapat margin lagi, dan dijamin oleh LPS, komplit kan. Ini paketnya komplit," ujarnya.

Menanggapi rencana penyangga likuiditas tersebut, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pahala Mansury mempertanyakan skema penjaminan risiko dari penempatan bank jangkar kepada bank pelaksana.

"Kalau di dalam PP, sudah dituangkan akan ada arahan mengenai kondisi bank dan mekanisme melalui b to b, lalu bagaimana kalau terjadi risiko, itu nanti kami akan lihat apakah risiko bisa ditanggung pihak LPS atau regulator," katanya.

Oleh sebab itu, ia mengaku akan menunggu skema penjaminan risiko dari pemerintah dan OJK sebagai regulator. Ia berharap skema penyangga likuiditas ini tidak merugikan bank jangkar.

"Mekanisme itu yang kami harapkan untuk dipastikan betul, jangan sampai nanti bank peserta kena risiko tambahan karena kami sudah punya tugas untuk restrukturisasi kredit nasabah. Jangan sampai kalau kami salurkan tambahan likuiditas ke bank lain justru kena masalah," ucapnya.

(adh/cnni)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae