COVID-19,Resesi Ekonomi,dan Urgensi Kebersamaan

Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI

Ketika bencana kemanusiaan akibat pandemi global virus corona belum lagi berakhir, Indonesia dan komunitas global telah dihadang resesi ekonomi.

Bencana beruntun yang tak terelakkan ini akan bisa dilalui jika semua elemen masyarakat Indonesia lebih mengedepankan kehendak baik menjaga iklim kondusif. Masalahnya, kondusifitas menjadi kata kunci yang memampukan bangsa ini mengelola rangkaian masalah akibat wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan resesi ekonomi.

Pandemi global virus corona membuat segala kerusakan, termasuk di sektor ekonomi, menjadi predictable, bahkan langsung dirasakan oleh semua orang. Si kaya maupun orang miskin, yang lemah maupun orang kuat, semua merasakan ketidaknyamanan karena kerusakan di sana-sini. Kini, warga planet ini pun tak bisa mengelak ketika perekonomian dirundung masalah teramat serius.

Jumat (27/3) pekan lalu, IMF kembali menegaskan bahwa perekonomian global sudah memasuki tahap resesi. Pasalnya, seperti halnya di Indonesia, hampir semua negara menghentikan sebagian aktivitas perekonomian.

Mudah untuk disimpulkan bahwa sebagai akibatnya adalah terjadinya kerusakan di sejumlah sektor dan subsektor ekonomi. Sebagai bagian tak terpisah dari perekonomian dunia, Indonesia pasti merasakan dan menerima dampak dari kerusakan itu.

Untuk kecenderungan di Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengonfirmasi gambaran dari dari IMF itu. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (6/4), Menkeu mengemukakan akibat wabah corona, skenario terburuk perekonomian nasional hanya bisa tumbuh 2,3 persen dari prediksi awal tahun 2020 yang 5 persen. Baik investasi maupun ekspor tumbuh negatif.

Pada Kuartal IV nanti, situasinya diharapkan membaik. Ketika investasi dan ekspor tumbuh negatif, motor penggerak pertumbuhan yang masih bisa diandalkan adalah konsumsi dalam negeri. Maka, dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah diharapkan menerapkan kebijakan yang mendorong penguatan konsumsi, baik konsumsi masyarakat maupun konsumsi pemerintah sendiri.

Terkait dengan resesi ekonomi, Indonesia memang tidak boleh hanya menunggu. Sambil tetap berfokus pada kerja merespons dampak wabah virus corona, kepedulian bersama dan respons bersama pada resesi ekonomi pun harus dimulai.

Kalau selama ini hanya pemerintah lewat Menkeu Sri Mulyani yang menyuarakan kecemasan, kini semua dipanggil untuk peduli. Masalahnya, negara dan bangsa ini harus menemukan jalan keluar yang bisa meminimalisasi ekses resesi ekonomi.

Negara-negara dengan perekonomian yang maju dan kuat sudah coba merespons resesi. Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, misalnya, sudah berinisiatif dengan beberapa paket kebijakan stimulus ekonomi.

Indonesia pun sudah menempuh inisiatif yang sama. Pemerintah berencana menerbitkan obligasi khusus, yang hasilnya akan disalurkan untuk membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar tetap mampu bertahan dan menciptakan lapangan kerja.

Selain itu, Presiden RI Joko Wiodo berjanji menyelenggarakan program padat karya tunai untuk memberi penghasilan sementara bagi pekerja harian yang kehilangan pendapatan akibat pandemi Covid-19. Akan ada beragam program padat karya, termasuk memproduksi masker, disinfektan, dan berbagai keperluan untuk menangani wabah Covid-19.

Kalau pemerintah telah berani berinisiatif, sektor swasta pun diharapkan kreatif dan berani berinisiatif pula. Kadin dan semua asosiasi pengusaha diharapkan segera merumuskan proposal tentang strategi menghadapi resesi ekonomi di sektor bisnisnya masing-masing.

Ketika pemerintah masih disibukkan oleh kerja merespons wabah corona, Kadin dan semua asosiasi pebisnis setidaknya mau untuk proaktif berkomunikasi dengan pemerintah. Misalnya, pemerintah tentu ingin tahu jalan keluar apa yang ada di benak para pemilik hotel dan pengelola objek wisata untuk memulihkan sektor pariwisata.

Kalau perhatian awal lebih ditujukan pada UMKM, utamanya karena jumlahnya yang terbilang sangat besar. Jumlah UMKM mencapai 62,9 juta unit usaha, sementara jumlah usaha skala besar sekitar 5.400 unit usaha (data tahun 2017).

UMKM umumnya berusaha di sektor perdagangan besar dan eceran, penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum, industri pengolahan, usaha pertanian, usaha peternakan, usaha perikanan, usaha hotel kecil, restoran dan jasa-jasa, dan beberapa di antaranya menjadi bagian atau pelengkap dari usaha kehutanan dan pertambangan.

Ketika segala sesuatunya normal, usaha mikro bisa menyerap sekitar 107,2 juta pekerja (89,2 persen), usaha kecil menyerap 5,7 juta (4,74 persen) pekerja, dan usaha menengah menyerap 3,73 juta (3,11 persen) pekerja. Total UMKM menyerap sekitar 97 persen dari total tenaga kerja nasional, sedangkan usaha besar menyerap sekitar 3,58 juta, sekitar 3 persen.

Menuntut Kebersamaan

Kini, saat wabah virus corona menyergap, sebagian besar UMKM langsung menerima dampaknya. Para pedagang kaki lima misalnya, sebagian dari mereka harus berhenti berusaha untuk sementara karena penerapan pembatasan sosial.

Unit-unit usaha yang bergerak di bidang transportasi pun bernasib sama karena masyarakat memilih untuk berdiam di rumah. Oleh karena itu, sangat beralasan jika UMKM mendapatkan prioritas perhatian.

Seperti sudah sering digambarkan oleh berbagai kalangan, daya rusak wabah corona memang dahsyat. Tidak ada yang menghendaki virus corona mewabah hingga ke 32 provinsi di Indonesia.

Virus ini menular karena mobilitas manusia yang sebelumnya tak bisa dibendung atau dibatasi. Bisa dikatakan bahwa virus ini mewabah di Indonesia sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan Indonesia yang membolehkan setiap WNI bergaul dengan WNA dari berbagai belahan dunia.

Itu sebabnya saat pertama kali terdeteksi, sejumlah pasien COVID-19 diketahui sebagai imported case, berdasarkan riwayat perjalanan atau aktivitas masing-masing pasien. Ada yang baru kembali dari luar negeri, sementara lainnya karena kontak dengan WNA yang beraktivitas di Indonesia.

Seperti halnya aktivitas ribuan WNI di berbagai belahan dunia, begitu juga ada ribuan WNA beraktivitas di sejumlah daerah di Indonesia.

Dengan begitu, sekarang bukanlah waktu yang ideal untuk saling menyalahkan, membuat pernyataan spekulatif, atau bahkan berperilaku provokatif.

Sebaliknya, semua elemen masyarakat didorong untuk mewujudkan iklim kondusif. Tidaklah sulit karena kondusifitas bakal terwujud dan terjaga jika ruang publik tidak dijejali dengan pernyataan provokatif yang berpotensi menakut-nakuti banyak orang.

Patut diingat bahwa pandemi corona barulah awal krisis sebab setelahnya berlanjut dengan resesi ekonomi. Dua bencana ini tak terelakkan sehingga harus dihadapi. Butuh kebersamaan seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menghadapi dua bencana ini.

Untuk menguatkan keyakinan masyarakat di tengah kejadian luar biasa akibat wabah virus corona dan resesi, pemerintah terus bekerja keras untuk mewujudkan dua tujuan besar yang sama strategisnya.

Pertama, menangani dan memberi layanan medis kepada semua pasien COVID-19, serta gencar mengupayakan cegah-tangkal penyebaran virus corona di semua wilayah melalui koordinasi dengan semua pemerintah daerah. Selain itu, juga mengubah sejumlah bangunan atau fasilitas umum untuk menampung dan merawat pasien COVID-19.

Agar hidup kebangsaan dan kenegaraan tidak lumpuh, negara ini tidak di-lockdown. Kendati rumit, pemerintah lebih memilih menerapkan kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) tingkat wilayah.

Penerapan PSBB tingkat wilayah atau daerah bergantung pada kondisi daerah sehingga inisiatif penerapan PSBB ada di tangan kepada daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), tentunya setelah berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan.

Kedua, didukung TNI dan Polri, pemerintah juga memastikan terjaganya keamanan dan ketertiban umum, mencegah panik masyarakat, serta memastikan terjaganya rantai pasok kebutuhan pokok dan energi.

Pemerintah juga harus mengalokasi anggaran untuk membiayai bantuan langsung tunai (BLT) dan listrik gratis selama 3 bulan karena jutaan pekerja harian tidak bisa bekerja sehingga mereka kehilangan sumber penghasilan.

Patut disyukuri karena sebagian besar masyarakat patuh pada imbauan untuk bekerja dan belajar di rumah selama periode pandemik corona. Kepatuhan masyarakat itu menjadi faktor signifikan bagi terwujudnya kondusifitas di tengah periode kejadian luar biasa sekarang ini.

Oleh karena itu, masyarakat pun berharap agar suasana kondusif sekarang ini tidak dirusak oleh pernyataan-pernyataan yang berpotensi mengeskalasi rasa takut, mendorong banyak orang panik, atau mereduksi kepercayaan publik kepada pemerintah.

Sepanjang periode pandemik corona dan resesi ekonomi sekarang, setiap orang hanya diharapkan lebih mengedepankan nurani kemanusiaan, karena memang dua bencana ini mengancam kesehatan dan jiwa miliaran warga planet ini, termasuk masyarakat Indonesia.

Silakan mengkritik langkah atau kebijakan pemerintah dalam merespons dua bencana ini. Akan tetapi, kritik itu hendaknya proporsional. Terpenting, menahan diri untuk tidak membuat pernyataan tricky yang berpotensi mendorong banyak orang jadi panik.

(ant)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae