Imbas Tiket Pesawat Okupansi Hotel di Luar Jawa Anjlok
Kliknusae.com - Tingkat hunian (okupansi) hotel di luar pulau Jawa rata-rata mengalami penurunan sekitar 20 - 40 persen selama periode Januari-April 2019 menyusul tingginya harga tiket pesawat.
"Secara nasional okupansi hotel drop. Yang paling terimbas dari tingginya harga tiket pesawat adalah teman-teman hotel di luar Jawa, dibandingkan di pulau Jawa yang masih ditopang oleh banyak alternatif moda transportasi lainnya," jelas Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran kepada Kliknusae.com, Selasa malam (13/8/2019).
Menurut Yusran, tingkat keterisian kamar hotel di pulau Jawa masih lebih baik karena adanya dukungan insfrastruktur tranportasi.
"Di pulau Jawa banyak transportasi pengganti selain pesawat. Untuk kendaraan roda empat bisa menggunakan jalur tol atau juga kereta api sehingga hotel masih stabil," jelas Alan-begitu sapaan akrab pria yang juga menjabat sebagai Ketua PHRI Provinsi Sumatera Barat ini.
Selama ini hotel masih mengandalkan tamu corporate atau government, namun dengan tingginya harga tiket pesawat banyak dari kegiatan pemerintah yang dikurangi.
"Tingginya harga tiket pesawat juga mempengarungi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (Dipa) mereka yang sudah ditetap 2018. Jadi, mereka banyak mengalihkan kegiatan ke tempat lain karena masalah tiket pesawat tidak terakomodir. Misalnya, harusnya ke Sumatera Barat, jadi diputar ke Jawa Barat," tandas Alan.
Anjloknya okupansi hotel di luar pulau Jawa diperburuk dengan jadwal airline yang juga mengalami degradasi. Yang biasanya setiap hari ada 5 penerbangan kemudian berkurang menjadi 3 kali."Indikator sebagai negara kepulauan kan dilihat dari jumlah penumpang pesawat. Airline di Indonesia sudah menjadi kebutuhan primer untuk bergerak, dari Sabang sampai Marauke. Jadi kalau bandara saja juga turun (drop), sudah otomatis akan berpengaruh kepada okupansi hotel. Dampak ikutannya, perputaran ekonomi daerah ikut lesu," ungkap Alan.
Pulau Jawa masih diuntungkan oleh kesiapan insfrastuktur darat sehingga masih banyak alternatif transportasi.
Sebagai ibukota negara yang berada di Jawa, banyak kegiatan yang diistribusi ke daerah-daerah seperti ke Kalimatan,Sumatera,Sulawesi, dan Papua.
Baca Juga: Mahalnya Tiket Pesawat,Hotel Di Maluku Sepi
"Kebetulan hotel itu kan masuknya sektor pariwisata, tapi yang mayoritas mengisi itu adalah corporate (government), bukan leisure (wisatawan) yang hanya biasa ramai di akhir tahun atau ketika lebaran. Kecuali mungkin untuk Bali,Lombok dan Yogyakarta yang pariwisatanya sudah terbentuk," tandas Alan.
Oleh sebab itu PHRI sendiri sudah sejak Januari lalu mengingatkan agar harga tiket pesawat bisa dikendalikan.
"Dampaknya kan sekarang sangat terasa. Pak Presiden sendiri sempat bertanya, kenapa neraca perdagangan dari sektor pariwisata menurun. Bagaimana tidak turun, rumus sederhana saja, banyak sekarang yang dari Sumatera memiliki terbang ke Kualalumpur atau Singapura karena biayanya lebih murah," kata Alan.
Harusnya fenomena ini bisa dihambat. Masyarakat tidak bisa dibendung untuk mendapatkan pilihan yang lebih baik.
"Sebagai contoh, misalnya dari Jakarta ke Bali tiket pesawatnya bisa Rp. 2,5 juta sekali jalan, sementara ke Bangkok cukup dengan 3 juta bisa pulang pergi, logisnya ya mending pilih keluar," tegas Alan.
Baca Juga: Gara-gara Tiket Pesawat,Okupansi Hotel Anjlok
Alan pun menyarankan pemerintah membuka akses dengan memilih secara selektif maskapai-maskapai lain agar bersaing secara sehat dalam bisnis penerbangan di Indonesia, sebagai solusi untuk mengatasi tingginya harga tiket.
"Jadi dipilihlah beberapa maskapai untuk bisa menjadi kompetisi dalam bisnis penerbangan di Indonesia. Bukan dibuka secara luas di mana semua maskapai masuk," paparnya.
Hal ini dimaksudkan supaya jangan hanya saat ini bisnis penerbangan dikuasai oleh dua grup maskapai yang sudah eksis.
"kalau bisa ada satu atau dua grup maskapai lain yang bisa bermain dalam bisnis tersebut sehingga biar pasarlah nanti yang menentukan," tutupnya.
(adh)