Para Owner Pilih Jual Hotel, Prospeknya "Hancur" Karena Okupansi Terjun Bebas
KLIKNUSAE.com — Di lini masa platform jual beli daring, daftar penawaran hotel di Jakarta kian memanjang. Para owner hotel sudah berbulat tekad melepas propertinya karena okupansi sudah terjun bebas.
Dari Jakarta Utara hingga Selatan, hotel-hotel berbagai kelas dipasarkan dengan embel-embel “dijual cepat” dan “di bawah NJOP”. Fenomena ini bukan tanpa sebab.
Menurut Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI) DKI Jakarta, gejala ini menjadi penanda bahwa bisnis perhotelan tengah megap-megap.
“Kalau kita lihat di OLX atau aplikasi lain, hotel yang dijual itu sudah sangat banyak. Itu artinya mereka kesulitan mengelola,” ujar Ketua Umum BPD PHRI Jakarta, Sutrisno Iwantono, dalam konferensi pers daring, Senin, 26 Mei 2025.
Meski belum ada laporan resmi soal penutupan hotel ke PHRI Jakarta, temuan di lapangan menunjukkan gelagat kurang menggembirakan.
Penelusuran di OLX menemukan deretan hotel yang dipasarkan secara terbuka.
Salah satunya hotel 146 kamar di Jl. R.E. Martadinata, Pademangan, Jakarta Utara, dijual jauh di bawah NJOP.
Ada pula Hotel World di Bandengan Selatan, Tambora, yang dibanderol Rp68 miliar. Di Kebon Jeruk, sebuah hotel lengkap dengan meeting room, gudang, hingga kantin ditawarkan Rp91,5 miliar.
Yang paling mencolok, Hotel Aston Priority, bintang empat di Jl. TB Simatupang, Jakarta Selatan, dijual seharga Rp800 miliar.
Sementara itu, hotel bintang tiga di Senen ditawarkan hanya Rp40 miliar, dengan fasilitas 88 kamar dan luas bangunan mencapai 4.632 meter persegi.
BACA JUGA: Kenapa Investor Tak Berminat Bangun Hotel di Mandalika, Ini Jawabannya
Okupansi Terjun Bebas
Menurut hasil survei PHRI Jakarta per April 2025, sebanyak 96,7 persen hotel melaporkan penurunan okupansi.
Dari jumlah itu, 70 persen mengaku akan terpaksa merumahkan sebagian karyawan jika tren ini terus berlanjut. Sekitar 10 hingga 30 persen karyawan di tiap hotel masuk dalam radar efisiensi.
“Sebanyak 90 persen sudah mengurangi pekerja harian, dan 36,7 persen sedang mempertimbangkan pemangkasan staf tetap,” kata Sutrisno.
Penyebab utama tergerusnya kinerja hotel, kata Sutrisno, berasal dari anjloknya pasar pemerintah akibat kebijakan efisiensi anggaran.
Segmen ini sebelumnya menjadi tulang punggung okupansi. Kini, hotel harus mengandalkan wisatawan domestik karena sumbangan wisatawan mancanegara masih rendah. Yakni, hanya 1,98 persen dari total kunjungan ke Jakarta.
Di sisi lain, biaya operasional melonjak. Tarif air dari PDAM naik 71 persen, harga gas meroket 20 persen, dan upah minimum provinsi (UMP) meningkat 9 persen.
Di luar itu, pelaku usaha juga dibuat repot dengan tumpukan regulasi: dari izin lingkungan hingga sertifikat laik fungsi dan perizinan minuman beralkohol.
“Birokrasi berbelit, dokumen tumpang tindih, dan biaya tidak transparan jadi kendala besar,” ujar Sutrisno.
Ia mengingatkan, tanpa strategi pemulihan yang jelas, industri perhotelan bisa terseret krisis berkepanjangan yang berdampak sistemik. Bahkan, akan menambah pusing para owner hotel. ***