Menelusuri Fenomena Alam di Gua Batu Cermin Labuan Bajo
Fenomena alam di Gua Batu Cermin yang oleh warga sekitar dikenal sebagai Watu Sermeng itu, mampu memantulkan cahayanya di dinding batu sehingga merefleksikan cahaya kecil ke areal lain dalam gua sehingga terlihat seperti cermin. Gua itu juga tak seperti gua-gua lainnya, ia mampu meredam bunyi sehingga kedap suara dan tak ada gema dan gaung dari bunyi apapun yang ditimbulkan di dalamnya.
Menurut Mario salah seorang pemandu wisata di sana yang dikutip dari laman www.kemenpar.go.id, menceritakan sejarah penemuan gua ini pertama kali mendapat perhatian dunia pada 1951 berkat penelitian arkeolog sekaligus misionaris asal Belanda, Theodore Verhoven.
"Jutaan tahun lalu, posisi gua ini ada di bawah laut. Dulu, sempat ada pergeseran atau patahan lempeng bumi, lalu terjadi gempa, sehingga ada beberapa wilayah di Pulau Flores yang tenggelam. Ada beberapa juga yang bahkan naik ke permukaan, salah satunya adalah gua ini," papar Mario.
Lokasi Gua Batu Cermin tak begitu jauh dari pusat kota Labuan Bajo, hanya sekitar lima belas menit. Pengunjung dapat menyambangi gua itu dengan kendaraan bermotor. Aksesnya juga relatif mulus, jalanan beraspal, dan deretan bukit hijau serta pepohonan berada di sepanjang jalan. Namun perlu menentukan waktu yang tepat untuk mengunjungi gua ini, yaitu ketika cuaca cerah.
Dari loket pembelian tiket, para pengunjung harus berjalan sekitar 300 meter untuk mencapai gua. Sepanjang perjalanan akan ditemani deretan pohon bambu yang rimbun dan memanjakan mata, sehingga tidak terasa membosankan. Sesekali pengunjung juga bisa melihat beberapa monyet bergelantungan atau sekadar duduk-duduk di kanan-kiri.
Saat memasuki gua utama, pengunjung harus menaiki tangga yang sudah disemen. Terdapat gua pembuka dengan jalur yang relatif luas dan mudah untuk dilalui. Beberapa pohon terlihat merambat dengan akar yang cukup besar menempel di dinding gua pembuka.
Mario menyarankan kepada pengunjung untuk memakai helm dan menyalakan penerangan dari telepon genggam masing-masing. Hanya beberapa pengunjung diberikan lampu senter. Ia menuturkan, tidak boleh terlalu banyak penerangan di dalam gua karena bisa mengubah temperatur udara.
"Para pengunjung harap berhati-hati ketika berjalan, karena di beberapa titik terdapat lorong yang hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Panjang gua kurang lebih 15-20 meter, tapi ada beberapa titik di mana kita harus berjalan merunduk karena posisi stalaktit dan stalagmit cukup rendah. Nanti di dalam ada ruangan besar yang tidak ada cahaya, tapi di bagian yang disebut 'cermin' ada cahaya," jelas Mario.
Di ruang tengah yang bisa diisi sekitar 15 orang, dapat dijumpai fosil penyu dengan posisi terbalik di langit gua. Ada segenggam bongkahan yang hilang pada tempurung fosil, yang ternyata sengaja diambil Verhoven untuk diteliti.
Kemudian terlihat sederet bongkahan batu berkilauan yang memiliki "pori-pori". Menurut Verhoven, suara di gua ini tidak bergema lantaran bentuk batu yang berpori-pori dapat meredam suara. Gua ini tidak bagus untuk memantulkan suara, tapi bagus untuk memantulkan cahaya.
Alasan mengapa gua ini diberi nama Gua Batu Cermin, yaitu saat tiba di satu titik di mana terdapat lorong buntu dan di atasnya terdapat celah tempat sebongkah cahaya masuk. Jika momennya tepat, cahaya yang masuk akan terefleksi pada dinding gua dan membentuk cermin alami. Inilah asal-muasal nama Gua Batu Cermin.
Perjalanan wisata khusus menelusuri Gua Batu Cermin ini bisa menghabiskan waktu sekitar 20-30 menit. Hasilnya, pengunjung serasa mengarungi cerita Pulau Flores masa lalu dan menyaksikan bukti-bukti peninggalan sejarah berharga berbentuk sejumlah fosil hewan dan terumbu karang. Keunikan inilah yang menjadikan objek wisata ini tak pernah sepi pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri.*** (IG)