Mengenal Sejarah Perjuangan di Museum PETA
Terletak di bilangan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bogor, museum menempati sebuah bangunan lama peninggalan kolonial. Gedung yang dibangun tahun 1745 itu pernah digunakan markas Koninklijk Nederlands-Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Dulu, pembangunan gedung hampir bersamaan dengan dibangunnya pesanggrahan mewah de Buitenzorg yang sekarang dikenal sebagai Istana Bogor.
Pada masa pendudukan Jepang sekira tahun 1943, gedung bekas markas KNIL itu digunakan sebagai pusat pelatihan pasukan yang dikenal sebagai Pembela Tanah Air. Saat itu tentara pribumi yang dilatih masih di bawah pengawasan Dai Nippon. Namun, alih-alih dibentuk untuk membantu Jepang melawan sekutu, PETA kemudian berubah menjadi pasukan yang disiapkan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Pembangunan monumen dan Museum PETA diprakarsai Yayasan Pembela Tanah Air (YAPETA). Tujuannya untuk memberikan penghargaan kepada mantan tentara PETA dan kontribusinya terhadap pendirian bangsa dan negara Indonesia. Selain itu, untuk menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan persiapan mengisi kemerdekaan.
Pembangunan Museum PETA mulai dipersiapkan sejak 14 November 1993. Peletakan batu pertama dilakukan Wakil Presiden Republik Indonesia yang juga sesepuh YAPETA, Umar Wirahadikusumah. Dua tahun kemudian tepatnya 18 Desember 1995, museum diresmikan Presiden Soeharto yang juga mantan perwira PETA angkatan pertama.
Lokasi museum memang tak terlalu jauh dari Istana Bogor. Lantas, apa saja yang menjadi koleksi di museum sejarah ini? Berada di Museum PETA angan seakan terbawa mengenang perjuangan masa silam para pejuang tanah air.
Di museum ini, pengunjung juga diajak untuk mengetahui sejarah panjang cikal bakal berdirinya TNI. Tentu, sembari mengenang jasa para perwira tentara PETA yang telah gugur mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sejarah tersebut diceritakan dalam bentuk relif hingga monumen. Ada juga koleksi berupa patung, perlengkapan perang, meriam dan berbagai senjata lainnya.
Di muka museum, berdiri patung Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Panglima TKR Shodancho Supriyadi dengan gestur heroik. Tangan kanan mengepal ke atas, sementara tangan kiri menggenggam sebilah samurai.
Diorama
Koleksi museum perihal sejarah perjuangan semakin lengkap dengan adanya diorama. Sebanyak 14 diorama didesain dan ditata sedemikian apik dalam menggambarkan peristiwa atau kegiatan yang dilakukan tentara PETA. Apa yang diilustrasikan menjadi tambahan wawasan sejarah dengan segala situasi dan suasana yang melatarbelakanginya. Setidaknya pengunjung akan lebih mengetahui secara detail sesiapa yang terlibat pada suatu peristiwa, dan apa yang sedang diperjuangkannya itu.
Dari 14 diorama, satu di antaranya menggambarkan kegiatan latihan dan pendidikan perwira PETA di Bogor tahun 1943. Selain diorama, terdapat juga koleksi pakaian dan berbagai jenis senjata yang pernah digunakan tentara PETA. Museum PETA dibuka untuk umum mulai pukul 08.00 hingga pukul 14.00 WIB setiap hari kecuali Sabtu, Minggu, dan hari besar nasional. (IA)*