Apindo Menilai Pertumbuhan Ekonomi Tak Berkualitas, Picu Krisis Lapangan Kerja
JAKARTA, Kliknusae.com - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia sebetulnya sedang tidak baik-baik saja. Memang, secara absolud angka investasi tahun 2019 naik Rp.800 triliun, namun dalam hal tenaga kerja per 1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.277 orang.
Sementara jika melihat ke belakang, pada tahun 2010 saat investasi Rp. 206 triliun, penyerapan per Rp 1 triliun mampu menggerakan 5.014 orang.
"Betul ada kenaikan investasi, tetapi kualitas investasi yang masuk itu, semua adalah padat modal. Nah, inilah yang sebetulnya menurut pandangan kami mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas," kata Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani ketika dihubungi Jalajanusae.com, Kamis (15/10/2020).
Haryadi diminta tanggapannya terkait penolakan Omnibus Law Cipta Kerja oleh buruh dan masyarakat karena dinilai banyak menimbulkan kontroversi.
Dikatakan Haryadi, soal Omnibus Law sebetulnya sudah disuarakan oleh Apindo sejak 17 tahun yang lalu ketika UU No 13 tahun 2020 tentang Ketenagakerjaan disahkan.
"Jadi kalau tadi ditanyakan seberapa urgensinya Omnibus Law, menurut Apindo urgent dalam konteks penyederhanaan birokrasi perizinan sehingga kita bisa berkompetisi dengan negara lain," katanya.
Menurut Haryadi, dalam kondisi sekarang yang menikmati adanya kelemahan dan ketidakwaspadaan Indonesia adalah negara-negara seperti seperti Vietnam dan Thailand.
"Mereka naiknya luar biasa, mereka memanfaatkan kemelahan Indonesia mengantisipasi industri padat karya. Padahal kita sama-sama ketahui bahwa di komposisi kita itu kan 57 persen lulusan SMP ke bawah," ungkapnya.
"Selama ini, kita tidak pernah bisa secara terbuka melihat dan memotret kondisi kita seperti apa sih, sebetulnya," tambah lanjut Haryadi-yang juga Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ini.
Dan jangan lupa, bahwa 40 persen penduduk Indonesia merupakan penerima subsidi. Berdasarkan catatan Kementerian Sosial jumlah ini merupakan penduduk tidak mampu, dimana pendapatan kepala rumah tangga hanya Rp. 600 ribu per bulan.
"Jadi bisa kita bayangkan 40 persen atau 98,9 juta orang yang masih membutuhkan lapangan kerja lebih baik. Disinilah urgensinya, menurut pandangan kami," ujarnya.
Keterbukaan semua pihak, termasuk pemerintah dalam melihat kondisi yang ada sekarang menjadi sangat penting.
"Jangan seolah-olah karena kita termasuk dalam Negara G20, semuanya baik-baik saja. Padahal sebetulnya kita sedang tidak baik-baik saja. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi kita tidak berkualitas karena tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar," tandas Haryadi.
Hariyadi mengingatkan, jika pemerintah gagal menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja dan menarik pekerja dari sektor informal ke sektor formal, maka gerak roda perekonomian juga tak bisa melaju kencang.
Pasalnya, dari 130 juta angkatan kerja di Indonesia, hanya sekitar 60 juta yang berada di sektor formal.
Sisanya berjuang di sektor informal yang seringnya tak menjamin pendapatan tetap serta tak memberikan proteksi kesehatan.
Bahkan, jika mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan hanya ada sekitar 30 juta dari 130 juta angkatan kerja Indonesia yang masuk dalam kategori pekerja formal.
"Kalau kita tidak bisa memanfaatkan bonus demografi, kita semua juga akan rugi. Dunia usaha juga akan rugi," tutupnya. (adh)