Raego, Tarian dengan Paduan Suara Tertua di Nusantara

Kliknusae.com - Salah satu tarian yang diiringi alunan suara tertua di Nusantara bahkan di dunia, bisa kita jumpai di Sulawesi Tengah. Tarian dengan paduan suara tersebut, berasal dari masyarakat adat Suku Uma, Tobako, Ompa, Moma, dan Tabo yang mendiami sebagaian besar wilayah dataran tinggi Kulawi dan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.

Suku bangsa ini menamainya dengan sebutan Raego. Namun terdapat penyebutan yang berbeda. Suku Kulawi menyebut Raego, Kaili menyebut Rego, dan Bada menyebut Raigo. Apapun penyebutan dan ada sedikit perbedaan dalam pembawaan Raego oleh suku-suku tersebut, tapi mempunyai makna yang sama, yaitu sebuah penghormatan terhadap Sang Pencipta.

Menariknya, syair yang dilantunkan dari paduan suara itu telah ditetapkan sebagai salah satu aset cagar budaya tak benda. Syairnya dalam bahasa daerah Uma Tua yang sudah tidak dipakai lagi dalam percakapan sehari-hari.

Tarian yang diiringi gema suara dengan syair-syair yang dilantunkan secara lantang ini, tidak hanya sebuah karya seni untuk hiburan, tapi tarian yang memiliki nilai sakral yang menjadi bagian pelaksanaan upacara adat, penyambutan tamu, peresmian rumah adat Lobop, syukuran hasil panen, hingga peristiwa duka. Syair-syairnya berisikan pesan moral untuk masyarakat dan memiliki makna simbolis terhadap upacara ritual.

Sayangnya, kini warisan budaya tersebut sulit dilestarikan, karena tidak semua suku memiliki sarana komunikasi dalam bentuk tulisan. Sang pewaris pun hanya mengandalkan pada informasi ingatan dan lisan saja. Ditambah lagi, tidak semua lapisan Suku Kulawi memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam mengetahui bahkan menekuni Raego, karena hanya beberapa anggota masyarakat berusia lanjut saja yang menjadi pelakunya.

Raego masih dianggap  hanya untuk para totuangata atau orang yang sudah berusia lanjut. Pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan Raego menjadi generasi yang terbatas. Apalagi penyebaran informasi dan ilmu dari tarian ini tidak merata di semua lapisan masyarakat. Dampaknya, jumlah dari para pelaku Raego semakin berkurang.

Salah satu yang dapat menjadi dokumen, Raego ini menjadi inspirasi dalam sebuah film yang berjudul "Mountain Song" yang terpilih sebagai The Most Promising Project di Makassar SEAscreen Academy 2016. Film ini disutradarai Yusuf Radjamuda yang terkesan dengan kebiasaan warga Pipikoro, Kabupaten Sigi. Menurutnya, masyarakat di sana selalu bersyukur dalam berbagai kondisi, tidak hanya kebahagiaan tapi juga kesedihan, seperti gagal panen dan kematian. Mereka tetap mengadakan Raego.

Tampilan seni Raego diisi kelompok paduan suara yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Dalam sejarahnya, pasangan lelaki dan perempuan dalam Raego bukanlah sepasang suami istri, maka lelaki yang menjadi pasangannya dalam tarian tersebut harus menyediakan seserahan adat kepada suami atau keluarga dari pasangan dalam Raego.

Sambil menari mereka melantunkan syair-syair dengan membentuk lingkaran dan tangan saling merangkul, membentuk sebuah simpul yang disimbolkan kebersamaan dalam menghadapai situasi apapun, bahagia dan duka. Perempuan akan dirangkul tangan kiri laki-laki yang menjadi pasangan. Sementara tangan kanan lelaki memegang parang yang dililitkan di pinggang sebelah kiri.

Tariannya sangat seirama dengan lantunan syair, sesekali menghentakkan kakinya di tanah sambil memekik. Mereka pun bernyanyi dengan suara lantang.  Semua lagu memiliki khas yang sama, selalu mengulang syair beberapa kali. Hanya berbeda melodi dan tempo yang tinggi.

Syair yang dilantunkan sesuai dengan peruntukan acaranya. Jika panen, syair yang dilantunkan dimulai dari proses membuka ladang, menanam, menyiangi, hingga memanen.  Sedangkan acara berkabung seperti kematian, syair pun berisi tentang siklus kehidupan manusia, mulai dari lahir hingga kematian, dan tak lupa menceritakan kebaikan orang  yang meninggal.

Dulunya dalam tarian dan paduan suara ini tak ada iringan musik. Tapi seiring berkembangnya zaman, ada Raego yang diiringi musik, seperti tabuhan gendang dan gitar, terutama saat upacara sesudah panen atau pementasan kesenian.

Raego tersebut diprediksi sudah berusia ratusan tahun dan telah muncul jauh sebelum masa penjajahan Belanda, bahkan sebelum masyarakat mengenal agama. Karenanya, Raego bisa dikatakan salah satu paduan suara tertua tidak hanya di Nusantara tapi di dunia.*** (IG/sumber: indonesia.go.id)

Share this Post:

Berita Terkait

E-Magazine Nusae