Pemerintah Sebut Tidak ada Pasal Pidana bagi yang Check-in di Hotel

KLIKNUSAE.com – Pemerintah memastikan tidak ada pasal soal pidana bagi pasangan yang belum menikah melakukan check-in di hotel.

Namun, yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) itu  adalah pasal yang mengatur tindak pidana perzinahan dan tinggal bersama bagi pasangan di luar nikah.

“Yang ada dalam RKHUP adalah Pasal 415 RKUHP Tentang Perzinahan. Dan Pasal 416 Tentang Kohabitasi ditujukan untuk menghormati dan menjaga lembaga perkawinan,” kata Juru Bicara Sosialisasi RKUHP, Albert Aries seperti dikutip Kliknusae.com dari Tempo, Senin 24 Oktober 2022.

Albert juga menambahkan Pasal 415 dan 416 RKUHP tersebut juga bersifat delik aduan (klach delicten).

BACA JUGA: Ketum PHRI Sebut Kontroversi Tiket Masuk Taman Komodo Karena ‘Selip’ Komunikasi

Artinya, pengaduannya hanya bisa dilakukan oleh pasangan bagi pelaku kohabitasi yang terikat status perkawinan atau orang tua bagi mereka yang belum terikat status perkawinan.

“Jadi tidak ada proses hukum terkait perzinahan atau kohabitasi tanpa adanya pengaduan langsung dari pihak yang memiliki hak yang merasa dirugikan,” ujar dia.

Dengan adanya kedua pasal tersebut, Albert berkata, sejatinya ruang privat seseorang justru lebih terlindungi oleh hukum.

Sebab, kata dia. kewenangan kepala desa dalam melaporkan pelaku perzinahan atau kohabitasi dihapuskan dari draft RKUHP sebelumnya.

BACA JUGA: PHRI Kabupaten Bogor Siap Dititipi Hotel Novotel yang Disita Satgas BLBI

“Ini dimaksudkan agar orang lain yang tidak berhak jadi tidak bisa melaporkan ke pihak berwajib serta tidak bisa melakukan tindakan persekusi. Jadi yang melaporkannya hanya orang yang berkepentingan dan berhak saja,” kata dia.

Kontroversi RKUP yang mencantumkan ancaman check-in di hotel belakangan terus menuai protes dari berbagai kalangan.

Jika pasal ini diterapkan makan bisa mengganggu tamu check-in di hotel, khususnya wisatawan asing.

Layangkan Surat ke DPR

Sementara itu Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan pihaknya telah melayangkan surat kepada DPR untuk meminta rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RUU KUHP.
Hanya saja,  sampai saat ini baik dari pihak DPR dan pemerintah belum memberikan tanggapan.

Terkait masalah RKUHP itu, Apindo memiliki 3 catatan yang menjadi sorotan.

Pertama, ketentuan yang mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau terkait hukum adat.

BACA JUGA: Restrukturisasi Kredit Usaha Tidak Bisa Diperpanjang Karena Pandemi Membaik

Ketentuan ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak diatur atau dilarang dalam peraturan perundang-undangan.

Hal ini akan bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum.

“Hukum adat itu sesungguhnya hanya perlu dihormati, diakui, dan dijamin eksistensinya saja tanpa perlu dimasukkan dalam RUU KUHP,” kata Hariyadi B Sukamdani dalam keterangan persnya.

Apindo menilai hukum adat yang diakomodir dalam RUU KUHP ini akan memicu ketidakpastian hukum.

BACA JUGA: Rakernas PHRI 2023 Pindah Ke Yogyakarta, Pelaku Usaha Hotel Tertekan Lagi

Sehingga menurunkan minat investasi di daerah tersebut karena ada kewajiban mematuhi hukum adat setempat.

Hariyadi khawatir ketentuan ini disalahgunakan karena proses pemidanaan bisa tetap dilakukan selama dianggap melanggar hukum adat setempat sekalipun tidak ada aturannya secara tertulis.

Ia  memberikan contoh di bidang pertanahan. Dimana masyarakat hukum adat kerap memiliki tanah ulayat.

Ketika suatu perusahaan sudah membeli tanah dari masyarakat adat, bisa jadi nanti ada masyarakat adat lainnya mengklaim tanah tersebut miliknya.

Jika hukum adat diakomodir dalam RUU KUHP, maka persoalan tanah seperti ini akan memunculkan ketidakpastian hukum.

BACA JUGA: Dilema Keberadaan BPPI, Ekor Lemahnya Koordinasi Sektor Pariwisata

Meliputi hukum yang hidup di masyarakat (living law); tindak pidana korporasi; dan pemidanaan terhadap perzinahan karena potensi menghambat investasi.

“Investasi akan enggan masuk ke suatu daerah karena ada potensi gangguan (ancaman krimnaisasi, red),” ujarnya.

Tindak Pidana Korporasi

Kedua, pengaturan tindak pidana korporasi. Hariyadi menyebut RUU KUHP yang mengatur korporasi sangat luas karena seolah semua orang yang ada dalam korporasi harus menanggung kesalahan.

Padahal, keputusan terkait tindakan korporasi belum tentu diketahui oleh sebagian pengurusnya atau seluruh karyawan dan pihak lain yang bekerja sama dengan korporasi.

BACA JUGA: Okupansi Hotel Drop Dihajar Kenaikan BBM, Pengusaha Hotel Cari Solusi

Pendekatan hukum yang tepat digunakan untuk korporasi adalah perdata.

Sekilas pidana pokok bagi korporasi hanya denda dan pidana tambahan berupa pembekuan usaha, pencabutan izin dan lainnya.

Tapi untuk perusahaan tertentu belum tentu bisa bertahan ketika melaksanakan pidana itu karena keuangannya tergerus membayar denda.

Juga tidak ada pemasukan ketika perusahaan dikenakan pidana tambahan yakni dibekukan atau dicabut izinnya. Hal ini berdampak langsung pada nasib pekerja yang kehilangan mata pencaharian.

Ketiga, pemidanaan terhadap perzinahan. Ketentuan ini berpotensi merugikan kalangan pengusaha yang bergerak di bidang industri pariwisata dan perhotelan.

BACA JUGA: 8 Hotel di Bali Lolos Asesmen untuk Tamu G20, Ini Daftarnya

Perzinahan ini layaknya masuk ranah privat, sehingga tidak perlu diatur oleh negara sebagai perbuatan pidana.

Ketika ketentuan pidana perzinahan itu dilaksanakan, maka berdasarkan asas teritorial dimana setiap orang yang masuk ke Indonesia wajib tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.

Maka turis asing yang tidak terikat dalam suatu pernikahan bisa dijerat pidana.

“Implikasinya adalah wisatawan asing akan beralih ke negara lain dimana hal tersebut akan berpotensi menurunkan kunjungan wisatawan ke Indonesia,” ungkap Hariyadi—yang juga Ketua Umum Perhimpunan Usaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). ***

Share this Post:

Berita Terkait

E-Magazine Nusae