Ingin Mendorong Industri Tekstil Sebagai Destinasi Wisata? Bagaimana dengan ‘Thrifting’

KLIKNUSAE.com -  Ketua Umum Insan Kalangan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) M Shobirin F Hamid mengemukakan bahwa industri tekstil berpontensi untuk menjadi destinasi wisata.

Namun untuk menggerakan setor manukfatur ini harus berangkat dari masyarakat itu sendiri. Artinya bagaimana membangun system yang terintegrasi dengan baik. Mulai dari hulu hingga hilir.

“Kalau ingin menggerakan destinasi tekstil, akan lebih bagus kalau sudah dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Artinya, semacam desa wisata yang menampilkan apa begitu. Salah satunya, mungkin produk tekstil itu sendiri,” kata Shobirin ketika dihubungi Kliknusae.com, Selasa 6 Juni 2023.

Idealnya memang seperti itu, namun lanjut Shobirin, kondisi di lapangan tidak seperti yang dibayangkan.

BACA JUGA: Sandiaga Mengajak Anak Muda Bandung Barat Jadi Entrepreneur

Diantaranya, belum adanya keperpihakan regulasi terhadap pelaku usaha kecil industri tekstil dibagian hilir.

Ia mencontohkkan kasus yang belakangan mengemuka, bagaimana nasib bagi para penjual pakaian bekas impor (thrifting).

Padahal mereka hadir sudah belasan tahun lamanya, dan menjadi salah satu pilar ekonomi. Mereka tidak minta bantuan siapa-siapa ketika masa pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Dan, tetap bertahan hingga sekarang.

“Kemudian dari sisi jumlah yang ada di bisnis ini, tidak sepuluh duapuluh orang lho. Data yang kami peroleh dari Paguyuban pakaian bekas (Cimol) Gedebage, Bandung mencapai hampir 2.000 orang,” ungkapnya.

Dari sisi financial, menurut Shobirin, dengan asumsi ada sekitar 2.000 pedagang pakaian bekas ini. Kalau  omset rata-rata mereka sebesar Rp. 2 juta per hari, maka perputaran uangnya kira-kira sudah  Rp120 miliar per bulan.

BACA JUGA: Jakarta Muslim Fashion Week Punya Logo Baru, Ini Harapannya

Solusi Masalah Pakaian Bekas Impor

“Angka ini disebut besar sekali gak, disebut kecil gak juga.Tapi ada nilai disini. Artinya, kita tidak bisa menampikan hal ini,” ujarnya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan keberadaan mereka itu. Apakah harus tetap diberangus. Sementara selama ini secara nyata telah memberikan kontribusi ekonomi daerah.

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus menjadi telaah pengambil kebijakan.

Shobirin sendiri setuju pentingnya pencegahan thrifting yang dilakukan secara illegal. Namun terhadap dampak yang dirasakan pedagang pakaian bekas di Gedebage, harus menjadi pemikirian bersama.

BACA JUGA: Kapolda Irjen Suntana Sebut Siap Sikat Pengganggu Objek Wisata

Bagaimana pemerintah juga bisa memberikan solusi terhadap masalah ini. Banyak orang yang bergantung pada jual dan beli pakaian bekas impor.

Apalagi tak sedikit masyarakat yang bisa selamat karena thrifting selama masa pandemi.

Shobirin melihat bahwa aktivitas perdagangan barang bekas harus dilihat dari beberapa hal. Yakni pertama, pasar loak atau jual dan beli barang bekas adalah legal.

Untuk itu, ia menilai aparat tidak boleh menindak atau merampas handphone, komputer jinjing atau barang elektronik bekas yang diperjualbelikan dan sama halnya dengan jual beli pakaian bekas.

BACA JUGA: Kadin: Sudah 6 Juta Pekerja di PHK,Sektor Tekstil Paling Banyak

Masyarakat Kecil

Kemudian, ada ribuan masyarakat yang sejak lama terlibat dalam perniagaan ini yang didominasi oleh masyarakat kecil.

“Oleh sebab itu, sebaiknya dalam penanganan kasus ini harus bijak dan tidak mengedepankan sikap represif, intimidatif dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya," pintanya.

Selanjutnya, terkait aktivitas yang melanggar hukum  memasukkan barang bekas tersebut secara illegal. Ini  yang perlu ditindak dan diselidiki siapa saja pemainnya.

"Seluruh pihak yang berkepentingan harus duduk bersama memberikan solusi konkret bagi mereka," kata Shobirin.

Terhadap pengusaha besar (tekstil), Shobirin juga mengingatkan, jangan terlalu khawatir dengan keberadaan para pedagang pakaian bekas ini. Justru, akan lebih elok kalau mereka bisa berkolaborasi.

BACA JUGA: Masjid Al Jabbar Masih Menjadi Magnet Wisawatan, Ini Buktinya

“Begini sajalah, mereka (pabrikan) yang melakukan eskpor pakaian kan sering ada beberapa produknya yang reject (tak terpakai). Kenapa tidak dimasukan ke pelaku usaha kecil ini,” tandasnya.

Dengan demikian, bisa terjalin hubunbgan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).

“Tekstil jatuh itu bukan karena thrifting. Alaah, kalau  cuma 120 miliar yang dihasilkan pengusaha kecil ini, tak akan menggangu merekalah,” ungkapnya.

Persoalan industri besar tekstil surut, bisa karena berbagai factor global yang mempengaruhinya. Seperti demand (permintaan) yang berkurang karena adanya resesi ekonomi.

“Bisa juga penyebabnya, karena adanya perang Ukraina dan Rusia serta hal lainnya secara regional maupun global,” jelasnya.

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae