Bersatulah Advokat Indonesia Menuju Profesi Kian Berkualitas

BANDUNG, Kliknusae.com - Para advokat Indonesia tampaknya segera memulai babak baru, setelah sempat "tercerai berai" oleh organisasi pengacara.

Paling tidak spirit itu mengemuka dalam diskusi virtual bertajuk bertajuk "Quo Vadis Advokat Indonesia?" yang digelar oleh The Best Lawyer Club di Hotel Savoy Homann, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jumat (9/4/2021).

Diskusi tersebut diikuti tidak kurang dari 1000 orang secara virtual dari seluruh Indonesia, dan sekitar 100 advokat yang  mengikuti secara langsung  (offline) di Bandung.

Ketua Panitia Pelaksana Iman Nurhaeman SH mengemukakan bahwa disikusi "Qua Vadis Advokat" Indonesia ini diselenggerakan semata-mata untuk Kembali menegakan advokat sebagai profesi yang mulia.

"Alhamdullilah, pada hari ini pada akhirnya kita bisa duduk bersama untuk mendengar  dan mengetahui   dari narasumber  bagaimana mewujudkan advokat profesi  mulia dan bermartabat  serta menjunjung tinggi  pancasila dan UUD 1945,"  ujarnya.

Selain itu, lanjut Iman-yang juga wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat ini, berharap organisasi  advokat nantinya memberikan  perlindungan terhadap profesi advokat  dan melindungi  masyarakat  pencari  keadilan.

Pada kesempatan yang sama juga dilangsungkan pelantikan DPN The Best Lawyers Club Indonesia Periode 2021-2025 serta HUT Ke-5.

Membuka sesi diskusi yang dipandu Sekjen The Best Lawyer Club Indonesia Alfies Sihombing, Ketua Peradi Suara Advokat Indonesia (SAI) Juniver Girsang menyatakan bahwa kondisi advokat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.

Terutama dengan bermunculannya advokat karbitan. Seperti mantan pejabat negara (ANS) yang tiba-tiba alih profesi menjadi pengacara.

Sikap advokat yang jauh dari kualitas seorang penegak hukum. Begitu mudahnya orang menjadi adviokat. Dan advokat tidak lagi menjadi profesi yang terhormat.

"Jadi, saya menyimpulkan advokat sekarang ini sudah bukan lagi profesi officium nobile, namun menjadi profesi tempatnya orang-orang yang tidak punya harga diri, martabat dan kehormatan diri," demikian ditegaskan Juniver Girsang.

Oleh sebab itu, ia menawarkan solusi supaya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dapat mempelopori untuk membawa advokat Indonesia keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi saat ini.

" Caranya, ketiga Peradi yang ada sekarang ini bersatu Kembali. Setelah bisa bersatu, baru kemudian dilanjutkan mengambil Langkah-langkah lainnya yang dipandang strategis untuk  menggiring upaya pembinaan dan pengembangan advokat Indonesia kembali on the track," paparnya.

Upaya penyatuan Peradi, kata Juniver, bisa dilakukan melalui musyawarah nasional (munas).

Sebenarnya, upaya rekonsilisasi sudah mulai dijajaki saat pemerintah beberapa waktu lalu mempertemukan tiga kubu yang terpecah.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menilai wajar saat ini menjamur organisasi pengacara atau advokat sebagai dinamika.

Namun, perlu dipikirkan wacana satu wadah organisasi bagi advokat Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo mewakili Menko Polhukam Mahfud MD.

Sugeng mengatakan, merujuk Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, lahir Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Sebagai kepanjangan UU itu, Peradi memiliki kewenangan melaksanakan pendidikan, pengujian calon advokat, pengangkatan, membuat kode etik, membentuk dewan kehormatan, komisi pengawas untuk mengawasi dan memberhentikan advokat.

"Walaupun Undang-Undang Advokat menghendaki satu organisasi profesi advokat atau single bar system, namun kenyataannya muncul organisasi-organisasi advokat atau multy bar system. Mereka kemudian mendirikan organisasi profesi di luar Peradi," ujar Sugeng.

Apalagi, beberapa kali dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), hasilnya tak dijelaskan secara eksplisit sistem mana yang konstitusional, single bar system atau multy bar system.

Kemudian, ujar Sugeng, terbit surat Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor 73 tahun 2015 yang memberikan kesempatan kepada seluruh organisasi advokat yang terdaftar mengusulkan penyimpanan calon advokat di pengadilan tinggi sesuai domisili.

"Dengan banyaknya organisasi advokat, muncul pertanyaan mengenai dewan kehormatan yang berfungsi mengadili dugaan pelanggaran atas kode etik advokat Indonesia.

Karena itu, pada kesempatan ini para advokat dapat merumuskan sikap sebagai pertanyaan untuk kehidupan dan masa depan Advokat Indonesia.

" Apakah perlu advokat bersatu dalam satu organisasi atau tetap dalam kondisi seperti ini?" ujarnya.

Menanggapi wacana single bar system yang disampaikan Sugeng itu, Ketua Peradi Rumah Bersama Advokat (RBA) Luhut MP Pangaribuan mengatakan, sejumlah organisasi Advokat di Indonesia menanggapi beragam.

Peradi misalnya, saat ini ada tiga kubu. Yakni, Peradi yang dipimpin Luhut MP Pasaribuan, Juniver Girsang, dan Otto Hasibuan.

Masing-masing kubu, kata Luhut, kompak untuk menjadikan seluruh organisasi advokat dalam satu wadah atau single bar system.

"Menurut saya, single bar menjadi pilihan. Tapi yang disebut single bar itu ditujukan bukan untuk kewenangan di satu tangan (organisasi), tapi single bar ke standar profesi. Jadi pilihannya single bar untuk standar profesi terdiri dari Dewan Kehormatan," kata Luhut MP Pangaribuan.

Sedangkan Otto Hasibuan juga sudah sejak lama menginginkan ada satu wadah organisasi advokat Indonesia. Sistem single bar sudah teruji di berbagai negara.

"Seluruh dunia menggunakan single bar karena sudah teruji. Hanya single bar bisa mencapai cita-cita Advokat. Apa cita-citanya? Organisasi dibuat bukan untuk kepentingan advokat, tapi pencari keadilan. Jadi tujuan single bar bukan semata-mata kepentingan advokat," kata Otto.

Namun pendapat berbeda muncul dari organisasi di luar Peradi. Vice Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Tommy Sihotang menolak sistem single bar.

"Kami akan tetap sendirian karena kami tidak akan mau single bar. Kami multi bar karena secara generik di semua profesi manapun nggak ada single bar," kata Tommy.

Menurut Tommy, prinsip multi bar ini juga selaras dengan surat Ketua MA Nomor 73 tahun 2015 yang memperbolehkan organisasi advokat mengusulkan pelantikan calon Advokat di pengadilan tinggi.

"Ketika MA mengeluarkan Surat Nomor 73 tahun 2015 yang intinya Pengadilan Tinggi menerima penyumpahan advokat, itu maknanya sudah mengambil sikap netral," ungkap Tommy. (adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya