PHRI: Masih Ada Dikotomi Pemberlakuan Pajak Hotel

Kliknusae.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) melihat masih ada dikotomi dalam pemberlakukan pajak di sektor akomodasi (perhotelan). Kondisi ini tentu sangat tidak baik dalam iklim investasi di Indonesia.

"Kami berharap ada kesamaan dalam memberlakukan kewajiban membayar pajak. Tidak bisa ada kelompok-kelompok tertentu yang menjalankan akomodasinya,tapi tidak mematuhi regulasi yang ada. Tidak membayar pajak,tidak mengindahkan analisis dampak lingkungannya (amdal),termasuk keamanan dan keterlibatan lingkungan," demikian disampaikan Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani saat memberikan sambutan di acara Pembukaan Musda XIII PHRI Jawa Barat,Rabu malam (15/01/2020) di The Trans Luxury Hotel Bandung.

Hadir dalam acara tersebut Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil,Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana,Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Kenny Dewi Kaniasari, Ketua BPC PHRI se-Jawa Barat,tokoh pariwisata,akademisi dan undangan lainnya.

Masih terkait masalah pajak hotel ini,lanjut Haryadi,pihaknya terus membangun komunikasi dengan seluruh pengurus PHRI di Indonesia untuk mendapatkan rumusan yang tepat sehingga tidak ada pengusaha hotel yang dirugikan.

"Perlu saya sampaikan Pak Gubernur, saya dengan Pak Herman Muchtar (Ketua PHRI Jabar) terus berdiskusi soal pajak ini. Yang kita harapkan adalah ada kesamaan dalam kewajiban membayar pajak," kata Haryadi.

Sebagaimana diketahui, pelaku usaha perhotelan mendesak pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% kepada akomodasi nonhotel yang dijadikan tempat menginap oleh para wisatawan.

Selama ini  yang dikenakan pajak PPN sebesar 10%  oleh pemerintah daerah/provinsi hanya sektor perhotelan saja.

Kebanyakan pemda mematok PPN hotel sebesar 10% sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasalnya, sektor perhotelan ini sebagai tempat akomodasi dan menginap para turis.

Pajak ini hanya dikenakan kepada hotel saja, namun untuk akomodasi lain seperti rumah yang dijadikan homestay, lalu indekos dan apartemen yang dijadikan tempat menginap turis dalam jangka waktu pendek tak dikenakan pajak seperti hotel ini.

"Akomodasi lain juga sebagai tempat menginap turis. Lalu apa bedanya dengan hotel. Jadi mereka juga harus dikenakan pajak seperti hotel sebesar 10%," kata Haryadi.

Oleh karena itu, dia mendesak agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Pariwisata segera mengubah nama pajak hotel menjadi pajak akomodasi agar akomodasi nonhotel juga dikenakan besaran pajak yang sama.

"Kalau tidak diganti sangat tidak adil. Pajak ini membuat ruang gerak kami menjadi sempit. Di satu sisi, turis milih penginapan yang murah akomodasi nonhotel, mereka [pelaku usaha] tak dikenakan pajak, malah kami saja yang dikenakan pajak," tambahnya.

(adh)

 

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya