Sudrajat: Tagline 10 Bali Baru Kurang Tepat

Kliknusae.com- Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Sudrajat berpendapat bahwa ukuran sebuah branding yang dilakukan kementerian pariwisata adalah feedback. Tolak ukurnya memiliki success story, dimana kunjungan wisatawan asing menjadi meningkat dari waktu ke waktu.

"Pemerintah  sudah mengeluarkan anggaran yang cukup besar. Bahkan lebih besar dari periode sebelumnya. Mestinya ini bisa diikuti dengan jumlah kunjungan wisman yang signifikan. Kita selaku pelaku pariwisata kan ingin melihat bukan hasil juara-juara (awards), tapi seberapa banyak wisman yang datang sehingga menghasilkan devisa negara," kata Sudrajat kepada Kliknusae.com,Sabtu (7/9/2019).

Sudrajat berpandangan ada yang kurang pas dalam meluncurkan tagline pengembangan pariwisata Indonesia dengan label 10 Bali Baru. Dengan penyebutan Bali makan konotasi public audience adalah destinasi wisata Bali.

"Saya sebetulnya sudah lama ingin menyampaikan bahwa pengembangan pariwisata dengan tagline 10 Bali Baru itu kurang tepat. Setiap pejabat,eselon,setiap pelaku pariwisata bicara Bali Baru, maka mindset yang tertanam di  audiens,customers dan masyarakat adalah Bali. Kenapa tidak disebutkan  saja destinasi baru yang dituju," tanya Sudrajat.

Menurut Sudrajat, sebutan berkali-kali tentang 10 Bali Baru itu memiliki dimensi biaya yang besar karena sudah menjadi sebuah produk branding.

"Akhirnya yang terkenal Bali lagi kan. Coba misalnya,apakah itu Ketua PHRI,Ketua GIPI dan yang lainnya, kalau berkali-kali menyebutkan Borobudur,Danau Toba atau lainnya, pasti semua orang akhirnya mengenal lebih banyak daerah yang disebutkan itu. Jadi, pendapat saya, sudahlah to the point saja kalau ingin membuat tagline," lanjutnya.

Masih menyoal tagline branding 10 Bali Baru,kata Sudrajat,hasil yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan. Dari 10 Bali Baru sekarang menjadi empat karena masalah anggaran.

"Jadi saya ingin katakan,penanaman image terhadap destinasi wisata disini kurang fokus. Bukan menonjolkan destinasi yang dituju,tetapi meminjam  destinasi yang sudah terkenal seperti Bali. Padahal Bali tak perlu dikenalkan,tinggal di maintenance saja," ungkap Sudrajat.

Pada akhirnya, banyak wisman yang belum tau,apakah Danau Toba atau Samosir karena jarang disebutkan.

Bagaimana dengan program hotdeals yang belakangan gencar dilakukan di berbagai daerah?

"Sepanjang tolak ukur,feedback atau outputnya ada, program hot deals baik-baik saja. Tetapi kalau hanya sebatas  untuk menjadi terkenal,dapat awards,kita sebagai kalangan industri pariwisata yang juga mengeluarkan investasi cukup besar, kan menginginkan hasil yang konkret," katanya.

Hot deals ini seharusnya bisa menyasar negara-negara yang populasi penduduknya besar seperti India,China,Amerika dan yang lainnya.

"Artinya kalau negara-negara yang kondisinya sedang krisis, ya gak perlu didatangi. Mereka sendiri sedang susah," kata Sudrajat yang sedang menuju perjalanan ke Eropa ini.

Dalam menggarap market wisman,lanjut Sudrajat, harus benar-benar terfokus,bagaimana memperoleh imbal balik yang signifikan.

"Tentu  harus juga ditunjang dengan penerbangan. Bila perlu kalau okupansinya rendah, pindahkan saja ke negara yang penduduknya besar. Seperti ke India, yang saya lihat masih kurang. Padahal potensinya cukup besar dengan jumlah penduduk yang lebih dari 1 miliar," jelasnya.

(adh)

 

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya