H Ama Soewarma, Mengabdi Di Kepanduan Hingga Akhir Hayat
Kliknusae.com - Hari ini, 14 Agustus merupakan cikal bakal berdirinya Gerakan Pramuka Indonesia. Awal dirikan oleh Dr Moewardi dengan sebutan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September 1930.
Dengan berjalannya waktu, KBI yang terdiri dari Pandu Rakyat, Pandu Kristen Indonesia, Pandu Ansor dan Hisbul Wathon dari Muhammadiyah kemudian akhirnya dilebur menjadi satu dengan nama Gerakan Pramuka.
Ketua Majelis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka pertama dilantik pada 14 Agustus 1961. Setelah itu, setiap tanggal 14 Agustus diperingati sebagai hari jadi Gerakan Pramuka.
Dan taukah Anda, bahwa dari sekian banyak tokoh kepanduan dunia, salah satunya adalah datang dari Jawa Barat.
Dialah mendiang Ama Soewarma, tokoh kelahiran Cibatu, Garut,3 Desember 1916.
"Pak Soewarma, bukan saja sebagai tokoh kepanduan dunia,tetapi sebagai kakak yang sangat dekat dan familiar kepada siapapun. Kenangan saya terakhir bersama beliau adalah saat sama-sama ke Inggris tahun 2007. Kebetulan beliau sedang melaksanakan reuni dengan para kepanduan dunia yang mengikuti Jambore Dunia Pertama," ungkap Wakil Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Engkus Sutisna Kepada Kliknusae.com, pekan ini.
Dalam kesempatan tersebut,Soewarma sempat berseloroh kepada Engkus; dulu saya salaman dengan ratu Belanda Juliana Louise Marie Wilhelmina."Itu, katanya selama satu minggu tangan saya tidak bahasi dengan air," kata Engkus menirukan kenangan manis Ama Soewarma saat bertemu dengan Ratu Juliana.
Ama Soewarma yang meninggal satu tahun lalu atau tepatnya pada Selasa, 16 Juni 2018 di usia yang ke 101 memang totalitas mengabdikan dirinya di dunia kepanduan.
Dalam catatan yang ditulis Berty Sinaulan dalam kompasiana 2016 silam, Soewarma digambarkan sebagai tokoh The Last Boy Scout, yang bila diterjemahkan secara bebas berarti "Pandu (Putera) Terakhir".
Anak ketujuh dari 8 bersaudara dari pasangan Mas Oetjik dan istinya Nyi Ningroem, konon kabarnya dilahirkan di atas kereta api, ketika orangtuanya hendak berkunjung ke kakaknya di Garut.
Orangtua Soewarma sendiri tinggal di Gang Simcong (sekarang Jalan Adibrata) di Bandung, Jawa Barat.
Soewarma memang seorang Pandu yang dalam Bahasa Inggris pada zamannya disebut Boy Scout, walaupun sekarang disebut Scout saja, karena kepanduan pun telah menerima anggota puteri.
Dia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), suatu sekolah Belanda untuk bumiputera.
Soewarma kemudian melanjutkan pendidikannya secara khusus di Sekolah Dagang Douwes Dekker.
Pendidikannya itu amat berguna ketika dia menjadi pengusaha. Tercatat antara lain Soewarma mengelola PT Permorin (kongsi agen Mercedes dan Mitsubishi), lalu biro perjalanan PT Sari Express, dan objek wisata air panas di Cipanas, Ciater, jawa Barat, melalui perusahaannya PT Sari Ater.
Di bidang kepanduan, Soewarma telah aktif menjadi anggota sejak usia 8 tahun. Keaktifannya itu jugalah yang membawanya pergi ke Belanda, mengikuti Jambore Dunia Kepanduan ke-5 di Vogelenzang, pada 1937.
Saat itu, Soewarma dan teman-temannya dari Nederlandsch-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) mewakili Kepanduan Hindia-Belanda.
Kontingen Hindia-Belanda itu terdiri dari berbagai ras, suku, dan agama. Ada para Pandu yang memang anak-anak Belanda, ada keturunan Tionghoa, Arab, dan kaum bumiputera yang juga terdiri dari beberapa suku bangsa.
Ada Sunda, Jawa, Maluku, Sumatera, dan banyak lagi. Agama yang dianut para anggota kontingen Kepanduan Hindia-Belanda juga bermacam-macam. Ada yang beragama Kristen (Protestan), Islam, dan Katholik.
Tetapi walaupun beragama ras, suku, dan agama, dan pastinya beragam latar belakang ekonomi keluarganya, semuanya bisa menyatu dalam kontingen Kepanduan Hindia-Belanda.
Mereka bahkan membawa sendiri peralatan untuk membangun rumah pendopo tradisional Indonesia di Belanda.
Ketika upacara pembukaan pun, kontingen Hindia-Belanda menyerahkan kenang-kenangan berupa keris Majapahit kepada Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell.
Kontingen Kepanduan Hindia-Belanda berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (sekarang Jakarta), dengan menumpang kapal MS Dempo. Ada kisah unik yang diceritakan Soewarma ketika naik kapal itu.
Sebelumnya, untuk mencari biaya agar dapat berangkat ke Belanda, Soewarma melakukan banyak hal. Dia sempat berjualan garam di depan rumahnya.
Otak dagangnya sudah bekerja. Untuk membedakan dengan garam yang dijual di pasar, dia membuat tulisan "Garam Bagoes", walaupun sebenarnya jenis garamnya sama saja dengan di pasar.
Dia juga mengemas dagangannya dengan baik dan melayani pembeli dengan ramah, sehingga garam
Bukan hanya itu. Saat itu, Dinas Pos dan Telegraf Hindia-Belanda juga menerbitkan prangko untuk menyambut Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 itu.
Terdiri dari dua keping prangko, masing-masing berharga 7 ½ sen dan 12 ½ sen, prangko itu memang diterbitkan juga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan memberangkatkan kontingen Kepanduan Hindia-Belanda.
Soewarma pun ikut menjualnya, dan hasilnya digunakan untuk biaya keberangkatannya bersama teman-temannya.
Namun, rupanya biaya yang dimiliki Soewarma masih kurang. Maka dia menemui kepala koki di kapal laut MS Dempo.
Selain pintar berdagang, rupanya Soewarma juga pandai memasak. Dia menawarkan keahliannya untuk menjadi pembantu koki, sehingga akhirnya biaya untuk berangkat ke Belanda mencukupi dan Soewarma pun bisa ikut Jambore Kepanduan Sedunia ke-5.
Suatu jambore yang tercatat dalam sejarah, sebagai jambore dunia pertama yang dihadiri peserta dari Indonesia (ketika itu masih bernama Hindia-Belanda).
Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 itu juga merupakan jambore dunia terakhir yang dihadiri oleh Baden-Powell, karena beliau kemudian meninggal dunia pada 1941, dan sekaligus jambore dunia terakhir sebelum pecahnya Perang Dunia II pada 1942.
Jambore Kepanduan Sedunia berikutnya baru diadakan setelah Perang Dunia II usai, yaitu di Prancis pada 1947.
Begitulah kisah Soewarma yang direkam para anggota Indonesia Scout Journalist, R. Andi Widjanarko, Mia Damayanti Sjahrir, dan Adi Rachmatullah, ketika mereka berkunjung ke kediaman Soewarma yang merayakan ulang tahunnya ke-100.
Soewarma itulah satu-satunya yang tersisa dari kontingen Kepanduan Hindia-Belanda ke Jambore Kepanduan Sedunia-5 pada 1937.
Jadi tak salah bila disebut bahwa Soewarma itu adalah The Last Boy Scout. Bahkan bisa jadi bukan saja satu-satunya yang bertahan lama dari Indonesia, tetapi juga dari 28.750 Pandu mewakili 54 negara yang hadir di Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 tersebut.
Soewarma sejatinya memang The Last Boy Scout yang pada akhirnya meninggalkan kita di usianya yang ke 101 tahun.
(adh)