Kampung Angklung Ciamis, Hadir dengan Pemberdayaan Masyarakat

Klik nusae - Angklung merupakan salah satu alat musik tradisional masyarakat Sunda yang sudah ditetapkan menjadi "Warisan Dunia" oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Dikukuhkan pada 18 November 2010 di Nairobi, Kenya, sebagai "Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity" (Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia).

Wilayah persebaran alat musik ini hampir ada di seluruh wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Walaupun tersebar, intensitas penggunaan ataupun produksi angklung berbeda-beda. Saat ini hanya ada beberapa sentra pembuatan angklung yang ada di Provinsi Jawa Barat. Selain Saung Angklung Udjo di Bandung, lokasi lain yang hingga saat ini masih aktif memproduksi dan menjual angklung ada di Kampung Nempel RT 02/07 Desa Panyingkiran, Ciamis.

Sentra angklung Kampung Nempel tersebut dikenal dengan Kampung Angklung Ciamis. Umumnya angklung memiliki standar nada, namun yang menjadi ciri khas angklung buatan kampung ini berupa lukisan batik yang terukir pada badan angklung dan berbahan bambu kering.

Awal kemunculan Kampung Angklung Ciamis, tak lain berkat kiprah seorang perajin angklung bernama Alimudin yang akrab disapa Mumu Angklung. Berangkat dari pengalamannya sebagai buruh pembuatan angklung di daerah Banjar pada 1975 hingga setelah lulus STM pada 1986, Mumu mulai menguasai pembuatan sampai penyesuaian nada angklung.

Kemudian Mumu hijrah ke Ciamis tahun 1992, tepatnya di Desa Panyingkiran tempat Kampung Angklung sekarang berada. Dengan melimpahnya bahan baku bambu di daerah Ciamis, Ia pun mulai merintis usaha produksi angklung skala kecil.

Seiring waktu, angklung buatannya mulai dilirik pasar domestik sampai pesanan pun mulai meningkat. Dari sana akhirnya Mumu mengajak masyarakat setempat untuk ikut bersama-sama memproduksi angklung, sehingga pesanan bisa terpenuhi.

"Bagi saya memberikan ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak itu berdampak baik. Terbukti sampai sekarang saya tidak kekurangan order, malah terus bertambah," papar Mumu menceritakan prinsip dalam usahanya.

Hasil binaan Mumu sudah melahirkan sekitar 100 perajin angklung. Usaha ini pun menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat di kampung tersebut. Setelah banyaknya perajin angklung, membuat Mumu berinisiatif untuk merintis daerahnya menjadi Kampung Angklung pada 2014.

Impian Mumu terwujud pada 2016 dengan diakui menjadi Kampung Angklung setelah mengajukan kepada Pemkab Ciamis dengan penuh perjuangan. Bahkan masih di 2016, Mumu mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sebagai pelopor pemberdayaan masyarakat.

Produknya juga sudah merambah ke seluruh Indonesia, terutama pasar wisata antara lain Bali, Lombok, Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Setiap hari Mumu bisa memproduksi 20 set angklung. Salah satu pesanan terbanyak terjadi saat peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung yang mencapai angka 20 ribu angklung.

Meskipun tidak melakukan ekspor langsung, angklung tersebut pernah menembus pasar Asia, yaitu ke Jepang pada 2004. Pada waktu itu, Mumu bekerja sama dengan sebuah perusahaan dan yayasan. Hingga kini, Kampung Angklung tak pernah sepi orderan bahkan kerap dikunjungi wisatawan dan peneliti. Tak hanya berkunjung dan melihat proses produksi, para rombongan wisatawan pun disuguhi alunan musik angklung dan diberi pelatihan untuk membuat angklung sendiri, kemudian dapat dibawa pulang sebagai cenderamata.*** (IWN)

 

Share this Post:

Berita Lainnya

E-Magazine Nusae