SENJA DI KAMPUNG SAPORKREN-RAJA AMPAT

 

Jelajah Nusa-Mentari tak lagi terang, seolah akan pamit kembali ke peraduannya di ufuk barat. Angin sepoi pantai menyambut kedatangan rombongan  kami tiba di kawasan Saporkren distrik Waigeo Selatan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Ya disinilah pantai Saporkren terbentang yang letaknya tak terlalu jauh dari Waisai-Ibu Kota Raja Ampat. Menikmati pemandangan pantai yang bersih dan tenang membuat perjalanan kami yang cukup melelahkan dari Bandung segera tergantikan oleh eksotisme keindahan alam tersebut.

Perjalanan kami ke Saporkren beberapa waktu lalu sebagai bagian dari rangkaian pertemuan ilmiah internasional yang dihadiri oleh akademisi dari berbagai kampus dari Indonesia dan Malaysia telah memberikan kesan tersendiri. Karena tidak ada pesawat yang langsung menuju Sorong dari Bandung, kami melakukan penerbangan dari Jakarta dan tiba di bandara Dominique Eduard Osok, Kota Sorong dengan waktu tempuh sekitar 4,5 jam. Dari Kota Sorong, perjalanan dilanjutkan menuju Pulau Waisai melalui Pelabuhan Sorong atau Pelabuhan Rakyat dengan lama perjalanan kurang lebih 2-3 jam. Dari Pelabuhan Waisai, kami pun dijemput oleh bis menuju distrik Waigeo. Selama perjalanan tampak perbukitan hijau dan pemandangan hutan lindung di sepanjang kiri dan kanan jalan.

Sebelum memasuki homestay Yankangkanes yang telah direservasi sebelumnya, kami menikmati makanan yang telah disediakan oleh Mama Rosita dan tim masak lainnya dari kampung Saporkren disertai senyuman yang ramah (gigi kuning kemerah-merahan karena kebiasaan memakan buah pinang). Sajian makanan yang bersumber dari hasil perkebunan dan kegiatan bernelayan mereka suguhkan dari mulai pisang, ubi-ubian dan olahan ragam ikan. Sungguh sambutan awal yang menenangkan.

Saporkren yang Eksotik

Tak jauh dari homestay, kami berjalan sekitar tigapuluh menit menuju Kampung Saporkren. Di kampung itulah Mama Rosita dan keluarganya tinggal. Kami menapaki pinggiran pantai Saporkren dengan pasir putih yang lembut. Sejenak berhenti di sebuah mata air yang senantiasa digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan mencuci. Anak-anak Saporkren tampak bahagia saling berkejaran satu sama lain. Sementara anak lain bermain pasir putih dan berbaring tenang tanpa berpikir kotor dan kuman. Tak ada beban di raut mereka, hanya kebahagian yang tertuang dalam ekspresinya.

Di sepanjang perjalanan, Mama Rosita tak hentinya bercerita tentang kesehariannya. Selain sebagai pengelola homestay, dia bekerja di kebun sementara suaminya bekerja sebagai nelayan. Jika banyak wisatawan, Mama Rosita membantu menyiapkan makanan bagi para wisatawan, sementara suaminya menjadi pemandu wisata. Tentu ini menjadi keberkahan tersendiri untuk Mama Rosita dan keluarga jika banyak tamu yang datang karena akan menjadi tambahan pendapatan. Tak hanya itu, Mama Rosita menceritakan tentang anak-anaknya yang kini anak pertamanya sudah menjadi seorang polisi dan anak kedua menjadi perawat. Ada satu kebanggan yang kami tangkap dari Mama Rosita, walaupun hanya bekerja sebagai petani dan nelayan namun mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya.

            Tibalah kami di Kampung Saporkren. Jajaran rumah kayu tertata rapi serta bangunan gereja sebagai tempat ibadah melengkapi kehidupan mereka. Kehidupan yang menyatu antara alam, budaya dan agama sehingga mampu membangun rasa damai. Beberapa anak menatap kedatangan kami, sementara ibu-ibu menyapa ramah tampak duduk santai di bawah pohon. Kami pun duduk persis di samping rumah Mama Rosita seraya melepas lelah setelah berjalan kaki. Rumah kayu dengan konsep sederhana tempat singgah mereka. Kami pun saling cerita dan suami Mama Rosita menemani kami sambil bersenda gurau. Inilah interaksi yang menampilkan persahabatan antara pendatang dan tuan rumah.

Kami tertarik dengan sebuah ruangan terpisah yang terletak tak jauh dari rumah Mama Rosita. Setelah kami buka, ternyata ruangan tersebut digunakan untuk pengawetan ikan secara tradisional dengan cara diasinkan. Begitu juga dengan sagu, sebagai salah satu makanan pokok disimpan dalam balutan daun sagu. Mereka percaya dengan cara ini (tanpa kimia) ikan dan sagu akan tetap awet dan sehat.

Pemandangan lain yang tak biasa adalah tempat pemakaman. Jenazah dikubur didalam sebuah bangunan secara tertutup. Di atas kuburan ditutup dengan sebuah kain dan disimpan bunga buatan. Hal ini katanya bagian dari penghormatan kepada jasad yang telah meninggal agar tetap bahagia. Suatu pemahaman yang patut dihargai, begitu agungnya mereka memperlakukan orang yang sudah meninggal. Terlebih sesama orang yang masih hidup, kiranya mereka dapat hidup berdampingan.

. Raja Ampat dengan julukan surganya Indonesia, telah memberikan kepuasan bagi penikmatnya. Pantai yang tenang, pasir putih yang lembut, anak-anak yang ceria, serta senyuman mama Rosita dengan area mulut merah karena tak henti mengunyah buah pinang dan sirih menjadi kenangan kami. Memang ini adalah suatu perjalanan yang tak mudah dan murah. Namun pemandangan senja saat itu adalah senja yang tak dapat dilupakan.

(Titing Kartika, Nova Riana,Bambang Hermanto/Dosen, Peneliti, Penikmat Wisata/ STIEPAR YAPARI Bandung)

 

Share this Post:

Berita Terkait