Ngarot Tradisi Indramayu Melawan Gempuran Zaman Now
Ngarot, inilah budaya masyarakat Indramayu sebagai wujud rasa syukur akan hasil panen melimpah digelar setiap tahun. Dalam Ngarot ini, gadis-gadis tampak cantik dan mengenakan mahkota bunga.
Tahun ini, Ngarot dihelat di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tepatnya pada 27 Desember 2017. Sedari subuh kesibukan dimulai. Masyarakat Desa Lelea siap-siap merayakan tradisi tahunannya.
Anak gadis di Desa Lelea mulai berdandan sejak pagi, ada juga yang berdandan di depan rumahnya. Pemandangan yang menarik tentunya. Bunga kenanga dan hiasan bunga yang terbuat dari kertas tergeletak di depan rumah. Bunga-bunga tersebut merupakan pelengkap riasan para gadis di desa itu.
Tentu agar terlihat cantik. Sebab, anak gadis di Desa Lelea itu bakal diarak keliling desa dan ditutup dengan penyerahan alat-alat untuk bercocok tanam kepada anak gadis dan sejumlah remaja pria. Tradisi tersebut dikenal sebagai tradisi Ngarot.
Aadalah Sinih (45) yang saat itu tengah merias keponakannya, Dinda Fitria (15). Dinda tampak cantik pagi itu. Parasnya manis, rambutnya tergelung rapih dengan kebaya putih.
Sinih saat itu sedang menyelipkan bunga kenanga di rambut Dinda. Seluruh rambut Dinda dipenuhi dengan bunga kenanga dan bunga hiasan yang terbuat dari kertas.
Dinda mengaku sudah tiga kali mengikuti tradisi Ngarot. Wajah Dinda terlihat sumringah.
"Kalau tahun lalu mah warna kebayanya hijau, sekarang putih. Bedanya itu saja antara tahun ini dengan tahun lalu, warna kebaya itu pihak desa yang menentukan," kata Dinda sebagaimana dikutif detik.Sejak usia 12 tahun, Dinda tak pernah absen mengikuti tradisi Ngarot. Bahkan, dikatakan Dinda mayoritas anak gadis di Desa Lelea itu pernah mengikuti Ngarot.
"Teman-teman sekolah saya banyak yang ikut kok," katanya seraya bercermin.
Menjaga warisan leluhur menjadi salah satu alasan Dinda untuk ikut Ngarot, termasuk dorongan orangtuanya.
"Senangnya itu dapat uang. Keluarga dan saudara tuh pada ngasih uang kalau ikut Ngarot. Lumayan, uangnya cukup buat beli baju," ucap Dinda.
Sementara itu, Sinih mengaku harus menggelontorkan biaya sekitar Rp 500 ribu untuk merias ponakannya tersebut.
Namun, bagi Sinih soal materi tak akan ada harganya demi menjaga tradisi yang sudah diwariskan leluhurnya.
"Habis setengah juta untuk merias nih. Tapi, jangan hitung-hitungan biaya saya ingin menghargai leluhur. Mulai merias tuh sekitar jam 05.00 WIB," kata Sinih.Saat masih gadis, Sinih mengaku hanya dua kali mengikuti Ngarot. Baginya, Ngarot merupakan identitas Lelea. "Ya jangan sampai punah. Harus dilestarikan. Nanti leluhurnya ngamuk kalau tak dirayakan sih," ucap Sinih seraya tersenyum.
Sekitar pukul 07.30 WIB, Dinda selesai dirias. Sinih dan Dinda pun bergegas menuju ke kediaman Kepala Desa Lelea yang dijadikan tempat pelepasan arak-arakan.
Puluhan gadis cantik duduk manis di depan rumah kepala desa. Iringan musik tradisional membuat suasana makin ramai.
Sekitar pukul 09.00 WIB puluhan gadis cantik yang ikut Ngarot itu mulai diarak. Tak hanya itu, remaja pria lengkap dengan pakain khas Jawa Barat, baju hitam dan bercelana hitam ikut mengiringi arak-arakan tersebut.
Mereka berkeliling sekitar dua kilometer dari rumah kepala desa menuju balai Desa Lelea. Kemudian ditutup pemberian secara simbolis peralatan untuk bercocok tanam. Ribuan masyarakat antusias mengikuti tradisi tersebut.
Mengolah Tanah Adat
Ngarot tahun ini diikuti 85 anak gadis dan 94 remaja pria. Pelaksanaan Ngarot dikhususkan untuk para remaja.
Kordinator acara Ngarot H Edy Iriana mengatakan tradisi Ngarot dimulai sejak tahun 1648, yang diinisiasi oleh Buyut Kapol selaku Kepala Desa Lelea kedua.
Buyut Kapol, dikatakan Edy memiliki harta yang berlimpah. Bahkan salah satu peninggalannya kini dijadikan sebagai tanah adat.
"Tanah adat ini masih dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Hasil dari cocok tanam itu untuk pembiayaan tradisi Ngarot," ucap Edy.
Edy mengatakan luas tanah adat di Desa Lelea sekitar 2,4 hektar. Ngarot merupakan warisan Buyut Kapol yang harus terus dijaga masyarakat Lelea.
Buyut Kapol dikenal sangat akrab dengan para pemuda saat memimpin desa.
Pada saat Buyut Kapol memimpin, sambungnya, hasil dari bercocok tanam di tanah milik Buyut Kapol yang kini dijadikan tanah adat digunakan untuk syukuran para pemuda Lelea.
Tradisi tersebut dikenal sebagai 'Ngareut', yang kini lebih dikenal dengan Ngarot.
"Pasca Buyut Kapol lengser, tanah itu diberikan desa. Dan, beliau menitipkan agar Ngarot terus dilakukanm" katanya.
Ngarot tidak boleh punah. Tradisi ini juga merupakan wujud syukur masyarakat Indramayu atas limpahan hasil pertanian.
"Kalau hasil panen di tanah adat itu jelek, maka semuanya jelek. Kalau bagus, ya semuanya bagus. Itu sih keyakinan masyarakat desa," terang Edy.
Edy menambahkan tanah adat tersebut kini diyakini sebagai tanah yang menjadi acuan berhasil atau tidaknya masa panen.
(adh/dtk)