Menilik Tinggalan Sejarah Probolinggo dari Museum
Museum Probolinggo terletak di pusat kota tepatnya di Jalan Suroyo. Awalnya, gedung yang digunakan museum ini dibangun pada 1814 sebagai gedung serbaguna. Di museum tersebut, pengunjung dapat melihat dan menyimak tinggalan sejarah Probolinggo masa silam. Museum dibuka untuk umum setiap hari Selasa-Minggu mulai pukul 08.00 hingga 14.00 WIB.
Berdiri di atas lahan seluas 13.408 meter persegi dan luas bangunan 7.193 meter persegi, Museum Probolinggo terbagi beberapa zona atau kategori koleksi. Selain arkeologika, etnografika dan historika, ada pula koleksi numistika, filologika, keramologika dan teknologika. Saat memasuki bagian depan ruang museum, pengunjung akan disambut dengan koleksi arkeologika yang mencakup Arca Nandi, Relief Arjunawiwaha dan Prasasti Rameswarapura.
Arca Nandi atau Nandiswara adalah lembu. Ya, lembu yang menjadi kendaraan Dewa Siwa dalam mitologi Hindu. Candi yang mempunyai arca Nandi umumnya dikategorikan sebagai candi untuk pemujaan agama Hidu Siwa. Di jajaran kategori ini ada juga arca Dwarapala hingga Mahasurya.
Lalu blok relif yang merupakan cuplikan dari relief kisah Arjunawiwaha dari Candi Kedaton yang terletak di Dusun Lawang Kedaton, Probolinggo. Struktur bangunan ini terbuat dari batu pasir dan isinya berupa batu lempengan dan batu alam yang disusun dengan campuran tanah. Pada satu pipi tangga dipahatkan angka 1292 Saka (1370 Masehi).
Tiga bagian relif ini rupanya mengandung kisah. Bagian yang pertama mengisahkan Arjuna tengah bertapa di Indrakala, digoda bidadari Supraha dan Tilottama. Blok relif kedua Arjuna dan seorang pemburu dari suku Kirata yang bersamaan melepas panah dari arah berbeda untuk membunuh babi hutan. Blok batu ketiga mengisahkan Arjuna memuja Dewa Siwa.
Di ruang berikutnya, akan banyak dijumpai koleksi benda sejarah lainnya. Sebut saja antara lain naskah kuno, hikayat Rara Anteng dan Jaka Seger yang erat kaitannya dengan Gunung Bromo, alat pertukangan tradisional Probolinggo, guci-guci kuno, keris, batik manggur, alat transportasi hingga uang kertas dan sejarah pendidikan Probolinggo.
Berada di dalam museum yang tertata demikian apik, angan pengunjung akan terbawa jauh ke masa silam. Suatu masa yang tak akan pernah kembali, tetapi dapat ditelusuri sebagai destinasi kini.
Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah di utara pesisir Pulau Jawa ini dikenal dengan nama "Banger". Kemudian berganti menjadi Probolinggo kala pemerintahan Tumenggung Djoyonegoro sekira tahun 1770. Secara harfiah, Probo berarti sinar, dan Linggo berarti tugu.
Kota mangga ini juga dikenal sebagai daerah menarik dan strategis. Tak ayal jika Probolinggo sejak lama menjadi perhatian banyak pihak dari dalam maupun luar negeri. (IA)*