Seribu Kesan di Lawang Sewu, Semarang
JELAJAH NUSA - Ketika disodorkan nama Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS, barangkali tak banyak orang tahu di mana letak gedung itu. Boleh jadi nama tersebut kini terasa asing di telinga. Terlebih, berbahasa Belanda yang tak begitu masyhur di tengah orang Indonesia kebanyakan saat ini. Akan tetapi tunggu dulu, ketika disebut Lawang Sewu, barulah angan terbawa ke Semarang, sebuah kota di wilayah pantura pulau Jawa.
Memasuki kawasan Lawang Sewu pangunjung mesti membeli tiket terlebih dahulu plus biaya tour guide sebesar 30 ribu rupiah. Seorang dewasa hanya dikenai biaya 10 ribu rupiah untuk bisa menjelajah gedung sarat kisah dan sejarah itu.
Gedung ini sejatinya telah menjadi salah satu landmark Semarang. Punya banyak kisah khas yang melatarinya sehingga melahirkan kesan menarik bagi para pelancong. Dari pemandu, sesiapa yang melancong akan memperoleh informasi akurat soal sejarah dan perkembangan gedung hingga saat ini. Walau tak lama berada di sana, namun seribu kisah dan kenangan akan bisa dibawa serta pulang.
Lawang Sewu yang dalam bahasa Indonesia artinya sepadan dengan seribu pintu, terletak di ibukota Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di bilangan Jalan Pandanaran dan Jalan Pemuda, Kota Semarang. Sebutan itu adalah sebuah toponim terhadap gedung NIS sejak puluhan tahun lalu karena memiliki pintu yang banyak. Tak berlebihan memang sebutan Lawang Sewu disematkan pada gedung anggun yang kali pertama dibangun pada 27 Februari 1904 dan selesai Juli 1907. Di Indonesia, gedung dengan banyak pintu semacam itu terbilang langka. Selain pintu, bangunan pun memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar.
Dari obrolan dengan pemandu, kusen pintu di Lawang Sewu berjumlah sekira 420-an dengan daun pintu mencapai 1.200 buah. Kusen menggunakan dua daun pintu dan sebagian menggunakan empat pintu, yakni dua pintu ayun menggunakan engsel dan dua pintu geser.
Dulu, NIS adalah jawatan kereta api swasta masa pemerintah Hindia Belanda yang beroperasi di Semarang mulai 1907. Dirancang oleh Profesor Jacob F Klinkhamer dan BJ Ouendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Pada masa pendudukan Jepang sekira 1942-1945, gedung sempat difungsikan sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi Jepang). Namun setelah Indonesia merdeka, NIS digunakan kantor Djawatan Kereta Api Republik Indonesia.
Kompleks Lawang Sewu terdiri dari lima gedung utama. Dari informasi yang diperoleh, meski beberapa daun pintu pernah diperbaiki atau direstorasi, masih banyak material dan aksesori gedung yang asli. Maksudnya, sejak awal pembangunan belum pernah dilakukan pergantian semisal lantai keramik Gedung A. Lantai gedung yang berhias dua menara menjulang ini juga di dalamnya terdapat hiasan kaca patri yang indah dan artistik. Di salah satu ruang gedung yang terlihat dari jalan utama ini, pemandu akan menyilakan pengunjung berfoto di depan ornamen kaca patri. Kaca ini bergambar dua wanita berpakaian penuh warna dan motif.
Saat ini, beberapa ruangan Lawang Sewu difungsikan sebagai ruang peraga museum kereta api. Terpajang sejumlah peralatan dan perlangkapan yang pernah digunakan untuk menunjang operasional perkeretaapian tempo dulu. Bergeser ke banguan utama lainnya yakni Gedung B, ada ruang bawah tanah memanjang. Banyak pengunjung menjelajah ruang yang digenangi air tersebut. Sementara Gedung C difungsikan sebagai museum, Gedung D untuk ruang P3K dan Gedung E kantor pengelola.
Yang tak kalah antik di kompleks itu adalah toilet yang masih terawat keasliannya. Di toilet lawas peninggalan kolonial itu terdapat 4 wastafel kuno segi empat berukuran besar di kiri dan kanan sisi dinding toilet. Selain wastafel, pengunjung juga akan mendapati urinoir jaman dulu terbuat dari keramik. Ukurannya terbilang besar dan tinggi ketimbang urinoir jaman sekarang. (IA)*