Awug, Kudapan Khas Sunda yang Melegenda
JELAJAH NUSA - Pamor awug sebagai makanan tradisional tak pernah pudar. Betapa cita rasanya sudah dikenal sejak zaman baheula hingga sekarang. Penikmatnya datang dari berbagai kalangan. Di Bandung, keberadaan awug dapat dijumpai di sejumlah sudut kota dan disajikan dengan harga beragam.
Cita rasa awug rupanya bukan hanya lahir dari bahan dan cara pengolahannya, tapi juga cara menghidangkannya. Awug diolah dari tepung beras (para©) yang dicampur dengan air, garam, gula merah dan kelapa parut serta dimasak dengan cara dikukus.
Sebagai makanan khas, awug dikukus dengan perabot dapur beranyam bambu bernama aseupan. Selain bentuknya serupa kerucut, penggunaannya juga telah menjadi tradisi turun-temurun. Adonan awug lazimnya dibuat berlapis yang terbentuk dari dua warna. Warna putih dari tepung beras dan warna merah kecokelatan berasal dari gula merah (aren). Awug yang sudah matang atau saat masih panas akan lebih baik disajikan pada piring dengan dialasi daun pisang terlebih dahulu. Apa sebab? Daun ini pun akan memunculkan harum yang menggugah selera. Jadi aroma wangi tak hanya muncul dari daun pandan yang turut dikukus.
Dengan bahan-bahan alami, awug dapat bertahan cukup lama. Maka tak jarang, awug dijadikan satu opsi sebagai buah tangan bagi pelancong yang datang dari luar kota. Seperti nasi, awug pun dapat dihangatkan beberapa saat. Akan tetapi yang perlu diingat, kelapa parut mesti dicampur saat awug akan segera disantap agar tak cepat basi.
Meski berbahan dasar padi, awug digolongkan pada makanan ringan. Dijadikan menu pilihan untuk melengkapi jamuan pesta, tak jadi soal. Malah, di hotel berbintang pun acap disajikan dalam suatu acara formal semisal meeting. Namun, sekali lagi, awug adalah makanan tradisional khas Sunda dengan selera tinggi. Disantap selagi hangat, akan terasa lebih nikmat. (IA)*