De Driekleur Antara Proklamasi dan Cagar Budaya
JELAJAH NUSA - Gedung anggun yang satu ini berdiri megah di sudut Jalan Sultan Agung dan Jalan Ir H Djuanda, Kota Bandung. Namanya "De Driekleur" : Gedung Tiga Warna! Selain sebagai bangunan heritage, De Driekleur menyimpan sejarah penting berkaitan dengan perjuangan pers dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung yang dibangun tahun 1938 ini dijadikan Kantor Berita Domei. De Driekleur bahkan menjadi saksi bisu sepenggal perjuangan insan pers di Indonesia, terutama di Kota Bandung dan sekitarnya.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945, dalam waktu demikian cepat tersebar luas ke seantero negeri. Rakyat Indonesia di berbagai pelosok mengetahui kabar itu dan menyambutnya dengan gembira dan suka cita. Kemerdekaan yang menjadi harapan dan cita-cita akhirnya terwujud dari hasil sebuah perjuangan.
Tak mudah memang menyebarkan berita kemerdekaan saat itu. Namun, perjuangan terus dilakukan dengan berbagai cara semisal lewat selebaran-selebaran, coretan-coretan di dinding hingga di gerbong kereta api. Stasiun-stasiun radio yang masih dikuasai Jepang pun tak luput dari perjuangan meski dengan risiko kontak secara fisik.
Setelah disebarluaskan dari Jakarta, di Kota Bandung pun berita kemerdekaan diudarakan lewat corong stasiun radio pada hari itu juga. Dari De Drekleur inilah penyiaran naskah proklamasi untuk pertama kalinya dibacakan di kota pensiunan. Berita tentang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia disiarkan dalam dua bahasa. Tak hanya bahasa Indonesia tetapi juga bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sehingga segera menyebar ke seluruh pelosok negeri, bahkan ke seantero dunia.
Pemancar radio Bandung (Bandung Hoshokyoku), mengumandangkan salinan proklamasi kemerdekaan melalui station call Radio Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks proklamasi yang dibacakan pada pukul 19.00, 20.00, dan 21.00 waktu Jawa itu ditutup dengan lagu Indonesia Raya.
Gedung heritage
De Driekleur merupakan salah satu bangunan cagar budaya, bernilai estetika dan sejarah tinggi serta unik. Pun punya kualitas secara fungsional dan teknik konstruksi yang baik.
Adalah Albert Frederik Aalbers, arsitek Belanda yang merancang dan membangun gedung itu pada tahun 1938. Buah rancang pria kelahiran Rotterdam tersebut banyak dipengaruhi aliran Nieuw Bouwen-gaya arsitektur yang berkembang di Belanda pada akhir 1930-an. Gaya ini mengutamakan kesederhanaan tanpa banyak memasukan ornamen dekoratif.
Gedung menampilkan langgam arsitektur pada zamannya, sedangkan Art Deco tegas memperlihatkan garis-garis stream line. "Langgam ini merupakan bagian dari konsepsi bentuk arsitektur baru yang semakin plastis yang disebut "Neo Plastisisme", dan dianggap sebagai akhir dari gaya Art Deco," terang Tubagus Adhi (36), Bagian Voluntir dan Keanggotaan Bandung Heritage.
Awalnya gedung dirancang dan difungsikan sebagai rumah peristirahatan keluarga atau villa-woonhuis met paviljoen. Penamaan De Driekleur konon mengacu pada bendera Belanda prinsenvlag yang terdiri dari tiga warna.
De Driekleur dirancang membentuk semacam trapesium dan setengah lingkaran. Bentuk setengah lingkaran yang mencakup balkon luar atau teras dibangun lebih tinggi ketimbang bagian bangunan yang memanjang.
Bangunan yang terletak di hoek ini memang tak terlalu luas. Bentuknya simetris, juga menyerupai kapal pesiar. Tak banyak ornamen yang melekat pada gedung berlantai empat itu. Kesan kesederhanaan malah begitu kental kentara namun megah.
Menyangga dak teras di lantai dua, di muka bangunan ada dua kolom besar. Sedangkan kaca jendela menghias di sepanjang dinding gedung. Desain menghadirkan ruang yang mengalir, serta mulai mengurangi dinding yang tebal pada bangunan.
"Konsep desain ini ternyata dapat menghasilkan ekspresi bentuk bangunan modern yang semakin bersih, ringan dan plastis, dengan menggunakan bahan modern baja, beton dan kaca," imbuh Adhi yang juga berprofesi sebagai arsitek.
De Driekleur memiliki kontribusi terhadap sejarah perkembangan budaya khususnya di Kota Bandung. Masih kata dia, bangunan cagar budaya tersebut juga merupakan contoh bangunan kelas A yang telah dilindungi serta dirawat, dan bahkan dimanfaatkan dengan sangat baik.
Selain Kantor Berita Domei, Gedung Tiga Warna yang dikelilingi pepohonan ini pernah pula digunakan sebagai rumah tinggal antara tahun 1950 sampai 1970, Markas Brigade Mobil (BRIMOB) dan kini lembaga perbankan. *** (IA)